Penukaran Uang Receh Tak Senilai Adalah Riba
PENUKARAN UANG RECEH TAK SENILAI ADALAH RIBA
Tanya :
Menjelang
Idul Fitri biasanya banyak orang menukar uang besar dengan uang receh di
pinggir jalan, tapi dengan nilai yang tidak sama. Misal : satu lembar uang
seratus ribuan (Rp100.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik
penjual receh sebanyak 95 lembar (Rp95.000), bukan 100 lembar. Atau satu lembar
uang seratus ribuan (Rp100.000) dan selembar uang lima ribuan (Rp5000) (total
Rp105.000) ditukar dengan uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh
sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Apakah penukaran uang ini termasuk riba?
(Haidar, Semarang).
Jawab :
Benar, penukaran uang sejenis
(seperti rupiah dengan rupiah) dengan nilai tak sama seperti fakta di atas
termasuk riba yang haram hukumnya. Hal itu dikarenakan penukaran uang seperti
itu tidak memenuhi syarat kesamaan nilai.
Perlu diketahui penukaran uang
sejenis wajib memenuhi dua syarat. Jika terpenuhi dua syaratnya, hukumnya
mubah. Namun jika tak terpenuhi salah satu atau keduanya, hukumnya haram karena
kelebihan/tambahan yang ada adalah riba.
Dua syarat tersebut adalah :
Pertama, harus ada kesamaan (at-tasawi)
dalam kuantitas (al-kamiyah) atau ukuran/kadar (al-miqdar).
Kedua, harus ada serah terima (at-taqabudh)
di majelis akad, yakni maksudnya harus kontan, tidak boleh ada penundaan pada
salah satu dari apa yang dipertukarkan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah
al-Dustur, Juz II hal. 155; ‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif
al-Islamiyah, hal. 30).
Dua syarat di atas dalilnya
antara lain hadits yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri RA, bahwa
Rasulullah SAW bersabda :
الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر
بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، يداً بيد، فمن
زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ والمعطي فيه سواء
"Emas ditukar dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, harus sama dengan sama (sama beratnya/takarannya), dan dari
tangan ke tangan (kontan). Maka barangsiapa menambah atau minta tambah, maka
dia telah berbuat riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini
sama saja (dosanya)." (HR Muslim, no 1584).
Diriwayatkan oleh Ubadah bin Shamit RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
الذهب بالذهب، والفضة بالفضة، والبر
بالبر، والشعير بالشعير، والتمر بالتمر، والملح بالملح، مثلاً بمثل، سواء بسواء،
يداً بيد، فإذا اختلفت هذه الأصناف فبيعوا كيف شئتم، إذا كان يداً بيد
"Emas ditukar dengan emas, perak dengan
perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam
dengan garam, harus semisal dengan semisal, sama dengan sama (sama
beratnya/takarannya), dan dari tangan ke tangan (kontan). Maka jika berbeda
jenis-jenisnya, juallah sesuka kamu asalkan dari tangan ke tangan (kontan)."
(HR Muslim no 1210; At-Tirmidzi III/532; Abu Dawud III/248).
Dari dua hadits di atas dapat
dipahami bahwa dalam penukaran barang-barang ribawi (yaitu emas, perak, gandum,
jewawut, kurma, dan garam) terdapat ketentuan sebagai berikut.
Dari hadits Abu Said al-Khudri
(hadits pertama), dapat dipahami jika barang yang ditukarkan masih satu jenis
(misal emas dengan emas), syaratnya ada dua; Pertama, harus ada kesamaan
(at-tasawi) dalam hal beratnya (al-wazan) atau takarannya (al-kail).
Hal ini didasarkan pada bunyi hadits "mitslan bi mitslin",
yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah)
tersebut harus dilakukan dalam jumlah atau ukuran yang sama. Jadi diharamkan
adanya tambahan atau kelebihan (at-tafadhul).
Kedua, harus ada serah terima
(taqabudh) di majelis akad, yakni dilakukan secara kontan. Hal ini
didasarkan pada bunyi hadits "yadan bi yadin" (dari tangan ke
tangan), yakni dalam penukaran barang-barang ribawi (al-ashnaf al-ribawiyah)
harus dilakukan secara kontan. Jadi diharamkan jika terjadi penundaan (al-ta`jil).
Dari hadits Ubadah bin Shamit
(hadits kedua) dapat dipahami bahwa jika barang yang ditukarkan tidak satu
jenis (misal emas dengan perak), maka boleh ada kelebihan atau tambahan, dan
syaratnya hanya satu saja, yaitu harus dilakukan secara kontan. Ini ditunjukkan
oleh lafazh hadits "idza kaana yadan biyadin" (jika hal itu
dilakukan secara kontan). (‘Ayid Fadhl al-Sya’rawi, Al-Masharif al-Islamiyah,
hal. 30).
Dalil-dalil di atas berlaku
pula untuk penukaran mata uang (al-sharf), sebagaimana berlaku pada emas dan
perak seperti terdapat dalam teks hadits. Ini bukan karena Qiyas, melainkan
karena sifat yang ada emas dan perak, yaitu sebagai mata uang, juga terdapat
pada uang (al-nuqud). (Taqiyuddin an-Nabhani, an-Nizham al-Iqtishadi fi
al-Islam, hal. 264)
Dengan demikian, untuk
penukaran uang yang sejenis (misal rupiah dengan rupiah, atau dolar AS dengan
dolar AS), syaratnya ada dua. Yaitu pertama, harus sama nilainya. Kedua, harus
dilakukan secara kontan. Sedangkan untuk penukaran uang yang tak sejenis (misal
rupiah dengan dolar AS), syaratnya satu saja, yaitu harus dilakukan secara
kontan. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah al-Dustur, Juz II hal. 155;
Abul A’la al-Maududi, Ar-Riba, hal. 114; Sa’id bin Ali al-Qahthani, Ar-Riba
Adhraruhu wa Atsaruhu, hal. 23).
Berdasarkan uraian di atas,
jelaslah bahwa haram hukumnya menukar uang seratus ribuan (Rp100.000) dengan
uang receh ribuan (Rp1000) milik penjual receh sebanyak 95 lembar. Sebab
nilainya tidak sama. Dalam hal ini si penjual uang receh telah mendapat
kelebihan Rp5000, yang tak diragukan lagi adalah riba yang haram hukumnya.
Demikian pula haram hukumnya
menukar satu lembar uang seratus ribuan (Rp100.000) ditambah selembar uang lima
ribuan (Rp5000) (total nilainya Rp105.000) dengan uang receh ribuan (Rp1000)
milik penjual receh sebanyak 100 lembar (Rp100.000). Sebab nilainya tidaklah
sama. Dalam hal ini si penjual uang receh juga mendapat kelebihan Rp5000, yang
jelas merupakan riba yang haram hukumnya.
Namun yang berdosa bukan hanya
penjual receh, melainkan termasuk juga yang menukarkan. Karena menurut hadits,
baik pemberi maupun penerima sama-sama telah melakukan transaksi riba.
Perhatikanlah sabda Nabi SAW :
فمن زاد أو استزاد فقد أربى، الآخذ
والمعطي فيه سواء
"Barangsiapa menambah (yaitu dari pihak
pemberi/pembeli) atau minta tambah (yaitu dari pihak penerima/penjual), maka ia
telah melakukan riba, yang mengambil dan yang memberi dalam jual beli ini sama
saja (dosanya)." (HR Muslim, no 1584).
Ingatlah bahwa riba adalah dosa besar. Na`uzhu
billah mindzalik. Sabda Nabi SAW :
اجتنبوا السبع الموبقات قالوا: يا رسول
الله، وما هن؟ قال: الشرك، والسحر، وقتل النفس التي حرّم الله إلا بالحق، وأكل
الربا، وأكل مال اليتيم، والتّولّي يوم الزّحف، وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات
"Jauhilah olehmu tujuh perkara yang
membinasakan." Para shahabat bertanya,"Wahai Rasulullah, apa
itu?" Rasulullah menjawab,’Syirik, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan
Allah untuk membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan
harta anak yatim, lari dari medan perang, dan menuduh zina kepada perempuan
mukmin yang baik-baik." (HR Bukhari no 2015, Muslim no 89)
Dari Abdullah bin Mas’ud RA, Rasulullah SAW
bersabda :
الربا ثلاثة وسبعون باباً أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه
"Riba memiliki 73 macam pintu (tingkatan
dosa). Dosa riba yang paling ringan adalah seperti seorang laki-laki yang
berzina dengan ibu kandungnya sendiri." (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak,
II/37. Beliau berkata : Ini adalah hadits shahih menurut syarat Bukhari dan
Muslim meski keduanya tidak meriwayatkan hadits tersebut, dan penilaian
kesahihan hadits ini disetujui oleh Imam Dzahabi. Dinilai shahih pula oleh
Syaikh Nashiruddin al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah, II/27).
Dari Abdullah bin Hanzhalah RA bahwa Rasulullah
SAW bersabda :
درهم ربا يأكله الرجل وهو يعلم أشدُّ من ستٍّ وثلاثين زنية
"Satu dirham riba yang dimakan oleh
seseorang, padahal dia tahu, lebih besar dosanya dari 36 kali berzina."
(HR Ahmad dalam al-Musnad, V/225. Syaikh Nashiruddin al-Albani
berkata,"Sanad hadits ini shahih menurut syarat Syaikhaini (Bukhari dan
Muslim)". Lihat Silsilah Al-Ahadits al-Shahihah, II/29).
Maka dari itu, sudah
seharusnya kita semua menghindarkan diri dari semua jenis riba, termasuk riba
dalam penukaran uang receh yang tidak senilai ini.
Sudah saatnya umat Islam
menghapuskan riba yang berlumuran dosa ini dalam segala bentuknya. Sebab jika
tidak, Allah SWT melalui Nabi-Nya telah memperingatkan dengan keras, bahwa
suatu negeri yang bergelimang riba, akan mendapat azab Allah. Sabda Rasulullah
SAW :
إذا ظهر الزنا والربا في قرية فقد أحلّوا
بأنفسهم عذاب الله
"Jika telah merajalela zina dan riba di
suatu negeri, maka sungguh mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima
azab Allah." (HR Al-Hakim dalam al-Mustadrak, II/37. Dinilai
shahih oleh Imam al-Hakim, dan penilaian ini disetujui oleh Imam Dzahabi).
Sampai kapankah kita terus
menerus menderita karena diazab oleh Allah, baik itu dalam bentuk kemiskinan,
kelaparan, kehinaan, gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus, maupun azab-azab
Allah lainnya? Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 2 September 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi