Bolehkah Menginvestasikan Zakat
BOLEHKAH MENGINVESTASIKAN
ZAKAT
(ISTITSMAR AZ-ZAKAT)?
Tanya :
Bolehkan menginvestasikan dana zakat
yang dikumpulkan oleh amil. Misal oleh amil dana zakat digunakan sebagai modal
dalam mudharabah dengan pihak lain, atau jenis investasi lainnya (F,
Yogya).
Jawab :
Menurut kami, dana zakat tidak sah secara syar’i diproduktifkan
(diinvestasikan) oleh amil dengan cara apapun dan dalam bentuk bagaimana pun.
Sebab :
(1) dana zakat bukan milik amil, namun milik delapan asnaf (QS at Taubah : 60).
Sudah maklum dalam syariah, bahwa yang tidak memiliki berarti tidak boleh
mentasharrufkan (*). Mentasharrufkan sesuatu yang tidak dimiliki adalah batil
menurut syara’. Karena itulah Nabi SAW bersabda,"Janganlah kamu menjual
apa yang bukan milikmu." (laa tabi' maa laysa 'indaka).
(HR Ahmad).
(2) amil wajib hukumnya menyalurkan dana zakat kepada delapan asnaf. Jika dana
zakat diinvestasikan, berarti amil meninggalkan kewajiban itu dan berdosa.
Suatu kewajiban pada dasarnya tidak boleh ditinggalkan, kecuali demi
mengerjakan kewajiban lain yang lebih penting. Kaidah fiqih menyebutkan,"Laa
yutraku waajib illa li waajib." (Suatu kewajiban tidak boleh
ditingalkan kecuali karena mengerjakan kewajiban lain (yang lebih penting).
(Imam Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha`ir). Andaikan benar fatwa yang
menyatakan investasi zakat itu mubah (boleh), berarti amil telah meninggalkan
yang wajib, demi mengerjakan yang mubah. Tentu tindakan ini tidak benar secara
syar'i.
(3) jika amil bersedia menanggung risiko dari investasi zakat, tidak berarti
amil boleh menginvestasikannya. Sebab boleh tidaknya amil menginvestasikan dana
zakat tidak tergantung pada sikap amil bersedia atau tidak menanggung risiko,
namun bergantung ada tidaknya nash/dalil syar’i yang mengesahkan investasi
zakat oleh amil. Padahal tidak ada satupun dalil yang membolehkan amil
menginvestasikan zakat, baik dari Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’, maupun Qiyas.
(4) jika menurut amil penundaan pembagian zakat tidak menimbulkan dharar
(bahaya) bagi delapan asnaf –karena dana zakat diinvestasikan lebih dahulu oleh
amil— tak berarti lalu amil boleh menginvestasikan zakat. Sebab boleh tidaknya
amil menginvestasikan dana zakat bukanlah tergantung pada ada tidaknya dharar
atas delapan asnaf, namun bergantung ada tidaknya nash/dalil syar’i yang
mengesahkan investasi zakat oleh amil. Padahal, seperti telah kami tegaskan,
dalil ini tidak ada. Baik dari Al Qur`an, As Sunnah, Ijma’, maupun Qiyas. (Jika
ada mohon diberitahukan kepada kami).
Kami memahami zakat adalah bagian dari ibadah, bukan bagian dari muamalah.
Sehingga berlakulah pada hukum-hukum zakat itu kaidah fiqih yang menegaskan : al-ashlu
fi al-‘ibadah al-buthlan hatta yadulla dalil ‘ala al-hill (hukum asal
ibadah adalah batal / tidak boleh, hingga ada dalil yang menyatakan
kehalalannya).
Kami telah mengkaji berbagai pendapat yang membolehkan investasi dana zakat,
atau yg dalam bahasa Arab disebut dengan tauzhiif az zakat
(memproduktifkan zakat) atau istitsmar az zakat (menginvestasikan
zakat), baik literatur dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Arab.
Namun setelah mengkaji dan mendalaminya, kami tidak setuju dengan fatwa-fatwa
baik dari ulama kontemporer atau lembaga fiqih yang membolehkan investasi
zakat, seperti Yusuf Qaradhawi, Shalah ash-Shawi dan Abdullah Mushlih, Wahbah
az-Zuhaili, Ali as-Salus, Majma’ Fiqh Islami, dan sebagainya.
Jika kami secara pokok tidak setuju dengan aktivitas investasi zakat, maka
dengan sendirinya kami tidak setuju pula dengan segala cabang tindakan yang
lahir dari pokok sikap tersebut (misalnya adanya unit bisnis dan program amil,
pemanfaatan laba dari hasil unit bisnis amil tersebut, dll).
Menurut kami, amil pada prinsipnya adalah sebuah institusi ibadah maliyah
sosial, bukan institusi muamalah – bisnis. Maka menempatkan amil dalam sebuah
kerangka institusi muamalah – bisnis, bagi kami merupakan pemaksaan yang tidak
pada tempatnya dan sudah keliru sejak awal. Kekeliruan ini menurut kami bukan
semata kekeliruan praktikal pada ranah aksiologis (kekeliruan amal oleh
muqallid), namun sudah merupakan kekeliruan paradigmatik konseptual pada ranah
epistemologi (kekeliruan metode/kaidah ijtihad oleh mujtahid). Wallahu a'lam.
(*) tasharruf adalah perbuatan atau perkataan yang memiliki
akibat hukum (qaulun aw fi'lun lahu atsar hukm). Ringkasnya, tasharruf
adalah perbuatan hukum. Misalnya, mengucapkan akad muamalah (tasharufat
qauliyah), atau melakukan serah terima barang (tasharrufat fi'liyah). Lihat Mu'jam
Lughat al-Fuqaha, oleh Prof Rawwas Qal'ah Jie.
Sleman, 28 Mei 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi