Pentingnya Khilafah Dalam Penentuan Awal Dan Akhir Ramadhan
Tanya :
Ustadz, bagaimana peran Khilafah
nanti dalam menentukan awal Ramadhan dan akhir Ramadhan (Idul Fitri)?
Jawab :
Khalifah mempunyai hak
melakukan adopsi (tabanni) hukum syariah Islam dan melegislasikannya
menjadi undang-undang yang berlaku mengikat bagi publik. Adopsi ini
dilaksanakan Khalifah jika terdapat khilafiyah dalam hukum syariah hasil
ijtihad. Maka ketika Khalifah memilih satu pendapat, rakyat wajib mentaatinya
sehingga perbedaan pendapat tidak ada lagi. Kaidah fiqih menyebutkan : Amru
al-imam yarfa’u al-khilaf fi al-masa`il al-ijtihadiyah (Perintah
Imam/Khalifah menghilangkan perbedaan pendapat dalam masalah-masalah hasil
ijtihad/khilafiyah). (M. Khair Haikal, Al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasah
al-Syar’iyah, III/1797; M. Shidqi al-Burnu, Mausu’ah al-Qawa’id
al-Fiqhiyah, I/268).
Namun jika khilafiyah itu
terjadi dalam masalah-masalah ibadah, seperti shalat tarawih 8 rakaat atau 20
rakaat, shalat Shubuh dengan qunut atau tidak, hukum dasarnya ialah Khalifah
tidak mengadopsi. Maka kaum muslimin, misalnya, tidak diwajibkan shalat sama
dengan mazhab Khalifah dalam jumlah rakaat shalat tarawih, atau dalam
pengamalan qunut dalam shalat Shubuh, dan seterusnya.
Ada dua alasan mengapa
Khalifah tak melakukan adopsi dalam hukum ibadah yang khilafiyah. Pertama,
karena tak sesuai dengan fakta adopsi, mengingat adopsi terjadi pada interaksi
antara sesama manusia, misalnya dalam hukum muamalah dan uqubat, bukan pada
interaksi antara manusia dengan Allah SWT. Kedua, karena adopsi dalam
masalah ibadah akan menimbulkan rasa sempit (haraj) di kalangan umat.
(Mahmud al-Khalidi, Qawa’id Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 357)
Tapi ini bukan berarti haram
hukumnya Khalifah mengadopsi hukum ibadah. Maksudnya ialah lebih baik Khalifah
tidak mengadopsi. Kalau Khalifah mengadopsi hukum ibadah, hukumnya boleh, tidak
haram. Imam Nawawi berpendapat boleh hukumnya Khalifah mengadopsi hukum ibadah.
Seperti dikutip Imam Suyuthi, Imam Nawawi menyatakan,"Kalau Khalifah
memerintahkan umat untuk berpuasa sunnah tiga hari dalam rangka istisqa
(minta turunnya hujan), umat wajib mentaati perintahnya." (Imam Suyuthi, Al-Asybah
wa An-Nazha`ir, hal. 527).
Bahkan mengadopsi hukum ibadah
dapat menjadi wajib bagi Khalifah, jika terkait dengan persatuan umat dan
kesatuan negara yang wajib dijaga Khalifah. Jadi meski hukum dasarnya Khalifah
tak mengadopsi, tapi demi kesatuan umat dan persatuan negara, Khalifah akan
mengadopsi beberapa hukum ibadah, seperti penentuan waktu ibadah haji,
penentuan awal Ramadhan, dan penentuan Idul Fitri dan Idul Adha. (Taqiyuddin
an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal.21).
Maka dari itu, meski penentuan
awal dan akhir Ramadhan merupakan masalah khilafiyah, Khalifah nanti akan
mengadopsi hukum dalam masalah ini. Tentu pendapat yang diadopsi adalah
pendapat yang kuat (rajih) yang sejalan dengan persatuan umat dan
kesatuan negara. Yaitu pendapat jumhur ulama yang mewajibkan penggunaan
rukyatul hilal (bukan hisab) yang diberlakukan seluruh dunia. Kata Wahbah
Az-Zuhaili,"Pendapat jumhur inilah yang rajih menurut saya, untuk
menyatukan ibadah kaum muslimin dan mencegah perbedaan pendapat yang tak dapat
diterima lagi di masa sekarang." (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu, II/610, Ahmad bin Muhammad Shiddiq al-Ghumari, Taujih
al-Anzhar li Tauhid al-Muslimin fi al-Shaum wa al-Ifthar, hal.19).
Jadi ketika Khalifah nanti
melakukan rukyat, hasil rukyat akan diberlakukan global kepada seluruh umat
Islam. Hal ini ditegaskan oleh Imam Al-Maziri ketika mensyarah hadis-hadis Shahih
Muslim tentang rukyatul hilal. "Jika hilal telah terbukti oleh
Khalifah maka seluruh negeri-negeri Islam wajib merujuk hasil rukyat itu…sebab
rukyat Khalifah berbeda dengan rukyat dari selain Khalifah. Karena seluruh
negeri-negeri yang berada di bawah pemerintahannya dianggap bagaikan satu
negeri." (Imam al-Maziri, Al-Mu’allim bi Fawa`id Muslim, Tunis :
Ad-Dar At-Tunisiyah, II/44-45). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 30 juli 2010
Muhammad Shiddiq al-Jawi.