Menanyakan Keluarga Dan Pemahaman Agama Calon Istri
MENANYAKAN KELUARGA DAN PEMAHAMAN AGAMA CALON ISTERI
SOAL :
Bolehkah
dalam rangka ta’aruf (saling mengenal) seorang pria menanyakan perihal keluarga
dan pemahaman Islam calon isterinya? Apakah sebaliknya juga dibolehkan, yaitu
pihak perempuan menanyakan perihal keluarga dan pemahaman Islam calon suaminya?
(Eksi, Yogyakarta)
JAWAB :
Upaya untuk
mengenal lebih dalam calon isteri, dengan tujuan mengetahui apakah ia mempunyai
sifat-sifat ideal yang ditunjukkan syara’, hakikatnya boleh (mubah) secara
syar’i. Namun disyaratkan bahwa cara yang dilakukan tidak bertentangan dengan
syara’. Dengan kata lain, tidak boleh dilakukan dengan cara yang haram,
misalnya berkhalwat (berdua-duaan secara menyendiri).
Upaya
memahami fakta calon isteri itu dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan
istilah tahqiqul manath, yaitu aktivitas untuk memeriksa fakta yang akan
dihukumi, apakah fakta itu cocok atau tidak dengan hukum syara’ yang telah
diketahui sebelumnya (Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah
Al-Islamiyyah, III/337-338; Imam Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam,
II/23-24). Contohnya, telah diketahui bahwa khamr itu haram (QS 5:90). Maka
upaya meneliti suatu minuman apakah ia tergolong khamr atau tidak, adalah
tahqiqul manath. Contoh lain, telah diketahui air yang boleh digunakan untuk
berwudhu adalah air mutlak. Maka upaya untuk mengetahui suatu air apakah
termasuk air mutlak atau tidak, disebut tahqiqul manath. Contoh lain lagi,
sudah dipahami orang yang berhadats (muhdits) wajib untuk berwudhu. Maka
kegiatan memeriksa keadaan seseorang apakah termasuk orang berhadats atau
tidak, dinamakan tahqiqul manath. Contoh berikutnya, sudah dimaklumi kalau
sholat itu wajib menghadapi kiblat. Maka upaya untuk mengetahui suatu arah
apakah ia arah kiblat atau bukan, merupakan aktivitas tahqiqul manath.
Demikianlah seterusnya.
Jadi,
tahqiqul manath merupakan langkah pendahuluan untuk memahami fakta yang ada,
agar hukum syara’ yang telah diketahui sebelumnya dapat diterapkan secara tepat
atas fakta itu. Selain itu, tahqiqul manath juga diperlukan seorang mujtahid
sebagai langkah pendahuluan untuk memahami fakta yang akan dihukumi (tapi
hukumnya belum ada), agar selanjutnya ia dapat mengistinbath hukum syara’ yang
relevan (inthibaq) dengan fakta yang ada (Taqiyuddin An-Nabhani,
Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, III/340-341).
Jika
dicermati, tahqiqul manath itu sebenarnya merupakan sekumpulan cara (uslub)
atau sarana (alat/wasilah) untuk memahami fakta. Misalnya untuk mengetahui
suatu minuman tergolong khamr atau tidak, dapat dilakukan dengan mencium
baunya, melihat buihnya, atau memeriksanya di laboratorium dengan serangkaian
uji-uji kimiawi. Untuk mengetahui suatu air tergolong air mutlak atau tidak,
dapat dilakukan dengan melihat warnanya, mencium baunya, atau mengecap rasanya.
Dapat juga dengan bertanya kepada orang yang sudah mengetahui perihal air
tersebut, dan sebagainya. Untuk mengetahui arah kiblat di suatu tempat, dapat
dengan bertanya kepada orang yang tinggal di tempat tersebut. Dapat pula dengan
cara melihat posisi matahari, atau melihat bintang-bintang di langit, atau
tanda-tanda alam lainnya. Demikianlah seterusnya.
Ditinjau dari
segi ini, maka hukum tahqiqul manath itu sendiri adalah hukum uslub dan
wasilah, yaitu mubah, selama tidak bertentangan dengan syara’. Terhadap uslub
dan wasilah ini berlakulah kaidah syara’ : Al-ashlu fiimaa yandariju tahta
qauli ar-rasuuli antum a’lamu bi umuuri dun-yaakum al-ibahah (Hukum asal untuk
segala sesuatu [cara dan alat] yang terkategori dalam sabda Rasul Antum a’lamu
bi umuuri dun-yaakum, adalah boleh). Dalil dari kaidah itu adalah sabda Nabi
SAW : Antum a’lamu bi umuuri dun-yaakum (Kalian lebih mengetahui urusan-urusan
dunia kalian) (HR. Muslim).
Berdasarkan
penjelasan di atas, maka seorang pria yang hendak menikahi seorang perempuan,
boleh menanyakan keadaan perempuan tersebut, misalnya keluarganya, pemahaman
agamanya, dan sebagainya. Itu semua adalah termasuk tahqiqul manath untuk
mengetahui sifat ideal calon isteri. Hal ini pada dasarnya mubah, dengan syarat
selama caranya tidak melanggar syara’.
Dalam masalah
sifat ideal calon isteri itu, Nabi SAW suatu saat berkata kepada Jabir bin
Abdillah RA,”Hai Jabir, kamu menikah dengan perawan atau janda?’ Jabir
menjawab,’Dengan janda, wahai Rasulullah.’ Rasulullah pun bersabda,’Mengapa
kamu tidak menikah dengan perawan saja, [sebab] kamu akan dapat bermain-main
(bergurau) dengannya, dan ia pun akan dapat bermain-main denganmu.” (HR.
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasa`i, dan disahihkan oleh Al-Hakim. Lihat Syaikh
Abdurrahman Al-Baghdadi, Emansipasi Adakah Dalam Islam, hal. 105)
Dalam hadits
lain, Nabi SAW bersabda,”Tazawwajul waduuda al-waluuda fa`inniy mukaatsirun
bikumul umama yaumal qiyamah!” (Nikahilah perempuan yang kamu cintai dan yang
subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya kamu di antara umat-umat
lainnya pada Hari Kiamat nanti.) (HR. Ahmad, dari Anas bin Malik RA; Lihat Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/111).
Nabi SAW
bersabda pula,”Tunkahul mar`tu li-arba’in : limaaliha, wa li-jamaaliha, wa
li-hasabiha, wa li-diiniha, fazhfar bi dzzatid diin taribat yadaaka.”
(Perempuan itu dinikahi karena empat alasan; karena hartanya, karena kecantikannya,
karena keturunannya, dan karena agamanya. Pilihlah perempuan yang beragama
(salehah) semoga engkau selamat.” (HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah
RA. Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/111).
Berdasarkan
dalil-dalil di atas, Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani mengistinbath hukum syara’,
bahwa mandub (sunnah) hukumnya seorang lelaki menikah dengan perempuan yang :
(1) perawan (al-bikr), (2) subur (al-waluud), (3) beragama dengan baik
(salehah) (dzaatu al-diin), (4) cantik (jamilah), (5) dari keturunan orang
baik-baik/takwa (dzaatu hasab wa nasab) (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham
Al-Ijtima’iy fi Al-Islam, 1990, hal.110).
Nah, setelah
dalil dan hukumnya jelas, sekarang pertanyaannya adalah, bagaimana kita tahu
kalau seorang perempuan betul-betul mempunyai sifat-sifat tersebut? Di sinilah
perlunya tahqiqul manath tadi. Selama tidak melanggar hukum syara’, proses
tahqiqul manath dibolehkan.
Misalnya,
untuk mengetahui seorang perempuan itu perawan atau tidak, perlu diteliti
dahulu apa betul faktanya demikian. Ada berbagai cara. Misalnya dengan bertanya
langsung kepada yang bersangkutan, atau bertanya kepada kawan-kawan dan
keluarganya terdekat. Atau kepada dokter kandungan yang pernah memeriksanya,
dan sebagainya. Tentu, haram hukumnya lelaki tadi memeriksa dengan cara
berkhalwat dan (maaf) membuktikan keperawanannya secara langsung dengan
berjima’. Ini haram dan jelas merupakan kebodohan yang nyata.
Untuk
mengetahui seorang perempuan subur atau tidak, dapat diketahui dengan cara
mencari tahu tingkat kesuburan ibunya, bibi-bibinya, saudara-saudara
perempuannya, dan seterusnya (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’iy fi
Al-Islam, 1990, hal.110). Tentu, haram hukumnya lelaki tadi membuktikan
kesuburannya secara langsung dengan berjima’ dan kemudian membuktikan apakah ia
memang dapat hamil atau tidak. Ini perbuatan ngawur dan haram hukumnya.
Untuk
mengetahui seorang perempuan itu salehah atau tidak, dapat ditempuh berbagai
cara. Misalnya dengan mengamati perilakunya sehari-hari. Atau bertanya kepada
sahabat-sahabat terdekatnya. Atau dengan berbicara langsung kepadanya untuk
menguji sejauh mana kepahamannya akan agama Allah ini. Tentu saja tidak
dibolehkan ada hal-hal yang diharamkan dalam pembicaraan tersebut, misalnya
dilakukan dengan berkhalwat atau saling merayu, menggoda, dan sejenisnya. Tidak
boleh pula perempuan itu diajak jalan-jalan pergi ke suatu tempat (misalnya
pantai, bioskop, kafe) dengan hujjah untuk melakukan “pendalaman kepribadian”.
Ini tentu dalih palsu dan jelas haram.
Untuk mengetahui
seorang perempuan cantik atau tidak, dapat ditempuh berbagai jalan. Misalnya
melihat langsung, dan ini memang ada dalil hadits yang memperbolehkannya
(H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, hal. 26-27). Hal
ini dilakukan sebelum khitbah (melamar/meminang) baik dengan izin maupun tanpa
izin perempuan yang bersangkutan (Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/113;
Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’iy fi Al-Islam, 1990, hal.41). Atau
dengan cara melihat fotonya, mengirim utusan [perempuan] yang dipercaya, dan
sebagainya. Tentu tidak dibolehkan membuktikan kecantikan dengan cara
berdua-duaan di kamar kost guna melakukan “pengamatan” yang “seksama” dan
“ilmiah”. Jelas ini hanya hawa nafsu dan haram hukumnya.
Demikian pula
untuk mengetahui apakah seorang perempuan itu berasal dari keturunan orang
baik-baik (takwa), dapat ditempuh dengan macam-macam cara. Misalnya dengan
mencari tahu siapa bapaknya, apakah bapaknya koruptor atau bukan, misalnya.
Penjudi atau bukan, pemabok atau bukan. Demikian pula perlu dicari tahu perihal
ibunya, saudara-saudara perempuan itu, dan sebagainya. Semua itu dalam rangka
mencari informasi mengenai lingkungan keluarga perempuan itu, apakah ia
terbiasa hidup di tengah keluarga baik-baik, atau di tengah keluarga yang bejat
dan bobrok. Tentu tidak dibolehkan mencari tahu apakah bapaknya penjudi atau
pemabok, dengan jalan mengajaknya berjudi dan pesta minuman keras. Itu tindakan
sembrono dan jelas haram.
Walhasil,
secara ringkas, semua upaya untuk mengetahui keadaan calon isteri merupakan
upaya tahqiqul manath yang dibolehkan syara’. Namun dengan syarat, cara yang
ditempuh wajib sesuai dengan syara’. Jika tidak sesuai syara’, hukumnya haram.
Adapun
pertanyaan kedua, yaitu bolehkah pihak perempuan menanyakan perihal keluarga
dan pemahaman Islam calon suaminya, maka jawabnya boleh dengan syarat cara yang
ditempuh tidak bertentangan dengan syara’.
Upaya itu
dibolehkan sebab ia juga merupakan tahqiqul manath untuk menerapkan suatu
ketentuan syara’ mengenai sifat ideal calon suami, yaitu lelaki itu hendaknya
orang yang saleh/takwa, bukan orang kafir atau fasik, sebagaimana diterangkan
dalam berbagai dalil (Lihat Imam As-Suyuthi, “Fi Ayyi Ar-Rijaal Khair li
At-Tazwiij wa Ayyuhum Syarr”, Nuzhatul Muta`ammil wa Mursyidul Muta`ahhil, hal.
45-47).
Dalam satu
hadits, Nabi SAW berkata kepada para wali perempuan,”Idzaa ataakum man
tardhauna khuluqahu wa diinahu fazawwijuuhu, in lam taf’aluu takun fitnatun fil
ardhi wa fasaadun ‘ariidh.” (Jika datang kepadamu siapa saja [lelaki] yang kamu
ridhai agamanya dan akhlaknya, maka kawinkanlah [anak perempuanmu] dengannya.
Jika kalian tidak mengerjakannya [menolak lelaki saleh itu dan menikahkan
dengan lelaki fasik] maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang
besar). (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Abu Hurairah RA. Lihat
Imam As-Suyuthi, Al-Ja’mi’ush Shaghir, Juz I hal. 16).
Pernah
seorang laki-laki datang kepada Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan bertanya,”Saya
punya anak perempuan, menurut pendapatmu dengan siapa anak perempuan saya harus
saya kawinkan?” Hasan menjawab,”Kawinkanlah ia dengan laki-laki yang bertakwa
kepada Allah. Kalau lelaki itu mencintainya, ia akan memuliakannya. Kalau tidak
cinta, ia tidak akan menzaliminya.” (Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Wanita
(terj.), hal. 361).
Berdasarkan
itu, jelas bahwa lelaki ideal calon suami haruslah orang saleh/takwa. Bukan
lelaki kafir (misalnya orang Kristen), lelaki murtad (seperti penganut
Ahmadiyah) atau lelaki fasik (misalnya laki-laki koruptor, pemabok, penjudi,
tukang zina; atau berpaham sesat misalnya aktivis Islam Liberal).
Lalu,
bagaimana seorang perempuan bisa mengetahui bahwa calon suaminya adalah
laki-laki yang baik? Di sinilah seorang perempuan pun, dapat melakukan tahqiqul
manath. Perempuan itu berhak memeriksa kualitas kepribadian calon suaminya
dengan cara-cara yang dibenarkan syara’. Misalnya dengan bertanya langsung
kepada yang bersangkutan, atau bertanya kepada teman-temannya, keluarganya, dan
sebagainya. Tentu tidak dibolehkan proses itu dilakukan dengan cara yang haram,
misalnya dengan berkhalwat dan sebagainya.
Demikianlah jawaban kami. Semoga penjelasan sederhana ini dapatlah kiranya
sedikit membantu menjawab masalah yang ada. Allah jua yang memberi taufik
kepada jalan yang lurus. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Yogyakarta, 24 Juli
2005
Muhammad Shiddiq
Al-Jawi