Bagaimana Hukum Melihat Calon Pengantin Sebelum Khitbah
Sebelum Khitbah, Lihatlah Dulu
Soal:
Melihat calon isteri, dilakukan
sebelum atau sesudah khitbah (melamar/meminang)? Apakah hanya dibolehkan
setelah khitbah? (Syahidah Mufidah, Yogya)
Jawab:
Melihat calon
isteri pada dasarnya hukumnya mandub (sunnah) menurut pendapat jumhur ulama
(Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, jld. III, hal. 113).
Adapun dari
segi waktu, melihat calon isteri hukumnya boleh (mubah) sebelum khitbah,
berdasarkan tunjukan (dalalah) bahasa dan dalil hadits Nabi Saw. Boleh pula
dilakukan sesudah khitbah berdasarkan dalil hadits Nabi Saw.
Mengenai
tunjukan bahasa yang membolehkan melihat sebelum khitbah, dapat dipahami dari
hadits Jabir bin Abdillah ra: “Idza khathaba ahadukum al-mar’ata fa in
istathâ’a an yanzhura minhâ ilâ mâ yad’uw ilaa nikahiha fal yaf’al.” (Jika
seseorang dari kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan, maka jika ia mampu
melihat perempuan itu pada apa yang mendorong menikahinya, maka lakukanlah).
[HR. Ahmad dan Abu Dawud, dan disahihkan oleh al-Hakim. Lihat Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, jld. III, hal. 113].
Secara
bahasa, frase “idza khataba ahadukum al-mar’ata” hendaknya diterjemahkan secara
benar menjadi “Jika seseorang dari kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan”
dan bukannya “Jika seseorang dari kamu telah mengkhitbah seorang perempuan.”
Mengapa diartikan demikian, padahal dalam frase itu digunakan fi’il madhi (kata
kerja lampau), yakni “khathaba” bukan fi’il mudhari’ (kata kerja kini dan akan
datang) yakni “yakhthubu”? Jawabnya, hal itu terpulang pada pengertian khitbah
itu sendiri, karena khitbah adalah thalabul mar’ati li az-zawâj, yaitu
permintaan (seorang laki-laki) kepada seorang wanita untuk menjadi isterinya (Ibrahim
Anis dkk, Al-Mu’jamul Wasith, jld. I, hal. 243; Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah
(terj.), jld 6, hal. 30). Padahal pada galibnya, tidaklah seorang lelaki itu
meminta seorang perempuan untuk menjadi isterinya, kecuali setelah lelaki itu
merasa mantap dan ridha dengan keadaan calon isterinya. Dan kemantapan dan
keridhaan itu antara lain dihasilkan dari melihat calon isterinya. Maka,
tunjukan (dalalah) bahasa ini menunjukkan, bahwa melihat itu dilakukan sebelum
khitbah.
Dari segi
pengunaan kata idza (jika), para ulama ahli bahasa Arab telah menjelaskan bahwa
apabila dalam suatu kalimat terdapat fi’il madhi setelah kata idza, maka fi’il
madhi itu dalam maknanya menunjukkan sesuatu yang akan datang (mustaqbal).
Syaikh Musthafa al-Ghayalaini dalam Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah, jld. III, hal.
58 mengatakan:
“Kata idza
adalah suatu zharaf (keterangan waktu) yang umumnya untuk menunjukkan masa akan
datang (mustaqbal). Kata idza umumnya mengandung pengertian pemberian syarat
dan secara khusus masuk dalam jumlah fi’liyah. Fi’il yang menyertai idza
kebanyakan adalah fi’il madhi dari segi lafazh tetapi menunjukkan masa akan
datang (mustaqbal) dari segi pengertiannya…” (Syaikh Musthafa al-Ghayalaini,
Jami’ ad-Durus al-‘Arabiyah, jld. III, hal. 58, Beirut : Syirkah Abna’ Syarif
Al-Anshari, cetakan ke-30, 1994. Penjelasan serupa lihat Umar Taufiq Safaragha,
Al-Mu’jam fi al-I’rab, hal. 8, Maroko : Darul Ma’rifah, 1993).
Jadi, tidak
setiap fi’il madhi selalu diartikan sebagai kata kerja lampau. Penggunaan fi’il
madhi untuk perbuatan yang hendak dilakukan, biasa digunakan dalam bahasa Arab,
jika terdapat qarinah (petunjuk) yang menunjukkannya atau menjadi tuntutan
makna dari redaksi kalimat (siyaqul kalam) yang ada, misalnya jika penggunaan
fi’il madhi itu terdapat dalam suatu kalimat yang diawali kata idza.
Contoh yang
semacam itu banyak. Misalnya firman Allah SWT (bunyinya): “Idza qumtum ila
ash-shalâti faghsilû wujûhakum wa aydiyakum ilal marâfiq.” (Jika kamu hendak
mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku.) (Qs.
al-Mâ’idah [5]: 6). Frase “idza qumtum ila ash-shalati” jika diartikan secara
harfiyah artinya “jika kamu telah mengerjakan shalat”. Ini tidaklah tepat,
karena redaksi kalimat menunjukkan adanya perintah berwudhu setelah itu.
Padahal wudhu itu wajib sebelum shalat, bukan sesudahnya. Maka dari itu, frase
tadi haruslah diartikan “idza aradtum al-qiyama ila ash-shalâti” (jika kamu
hendak mengerjakan shalat) (Dr. Muhammad Ali al-Hasan, Tafsir Surah al-Fatihah,
hal. 5).
Contoh lain,
firman Allah SWT (bunyinya): “fa-idza qara’ta al-Qur’âna fasta’izh billahi
minasy syaitânir rajîm” (Apabila kamu hendak membaca al-Qur’an, hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.) (Qs. an-Nahl
[16]: 98). Ayat ini menganjurkan membaca ta’awwuzh pada saat sebelum (bukan
sesudah) membaca al-Qur’an. Frase “fa-idza qara’ta al-Qur’âna” tidaklah benar
kalau diartikan “jika kamu telah membaca al-Qur’an…”. Yang benar, frase itu
hendaknya ditafsirkan “fa-idza aradta al-qira’ah…” (maka jika kamu hendak
membaca al-Qur’an). Jadi, walau pun menggunakan fi’il madhi (idza qara’ta)
(jika kamu telah membaca) tapi yang dimaksud adalah idza aradta al-qira’ah
(jika kamu hendak membaca) karena ada qarinah syar’iyyah berupa hadits Nabi Saw
bahwa ketika shalat malam, Nabi Saw membaca ta’awwuzh sebelum membaca surah
al-Fatihah [HR. Muslim dan Ash-Habus Sunan, Tafsir Ibnu Katsir, jld. I, hal.
31,: Lihat Dr. Muhammad Ali al-Hasan, Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 5].
Contoh lain, dalam satu hadits Nabi Saw bersabda:
“Idza
qataltum fa-ahsinul qitlata wa idza dzabahtum fa-ahsinudz dzibhata.” (Jika kamu
hendak menghukum mati (qishash), jatuhkanlah hukuman itu dengan baik, dan jika
kamu hendak menyembelih binatang, sembelihlah dengan baik). [HR. Muslim, dari
Syadad bin Aus ra; Lihat Dr. Abdurrahman al-Maliki, Nizham al-‘Uqubat, hal.
109].
Hadits ini
berkaitan dengan perintah untuk bersikap ihsan (baik) dalam melakukan qishash
dan penyembelihan binatang, yaitu menggunakan senjata yang tajam agar
memudahkan kematian. Jadi frase “Idza qataltum” tidaklah tepat diartikan secara
harfiyah “jika kamu telah selesai menjatuhkan qishash”, tapi hendaknya
diartikan “jika kamu hendak menjatuhkan qishash.” Mengapa? Sebab redaksi
kalimat menghendaki bahwa sikap ihsan itu adalah sebelum pelaksanaan qishash
atau penyembelihan binatang, bukan sesudahnya. Demikianlah seterusnya.
Itulah
beberapa contoh yang menunjukkan bahwa penggunaan fi’il madhi dapat pula untuk
menunjukkan perbuatan yang hendak dilakukan, jika terdapat qarinah (indikasi/petunjuk)
yang menunjukkannya atau menjadi tuntutan makna dari redaksi kalimat (siyaqul
kalam) yang ada, misalnya jika penggunaan fi’il madhi itu terdapat dalam suatu
kalimat yang diawali kata idza.
Dari tinjauan
bahasa ini dapat dipahami, bahwa boleh hukumnya sebelum khitbah, seorang muslim
melihat calon isterinya, berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah ra yang telah
ditunjukkan di awal tulisan ini.
Jabir bin Abdillah ra mengatakan, Rasulullah Saw bersabda:
“Idza
khathaba ahadukum al-mar’ata fa in istathâ’a an yanzhura minhâ ilâ mâ yad’uw
ilâ nikahiha fal yaf’al.” Artinya yang tepat dari hadits itu adalah: “Jika
seseorang dari kamu hendak mengkhitbah seorang perempuan, maka jika ia mampu
melihat perempuan itu pada apa yang mendorong menikahinya, maka lakukanlah.”
[HR. Ahmad dan Abu Dawud].
Jadi, melihat
itu adalah sebelum khitbah. Pemahaman seperti inilah yang telah diadopsi oleh
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam,
halaman 41-42. Melihat calon isteri, menurut beliau, adalah sebelum khitbah.
Perhatikan pernyataan Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ketika beliau menjelaskan
adanya pengecualian hukum menundukkan pandangan, “Ay yajibu ‘alal mu’miniina an
yaghudhdhû min abshârihim illa al-khâthibiina fa inna lahum ‘adama ghadhdhil
bashari ilâ man yuriidûna al-khitbata minan nisâ’i.” (Artinya, wajib kaum
mukmin menundukkan sebagian pandangan mereka, kecuali laki-laki yang hendak
mengkhitbah, karena mereka boleh tidak menundukkan pandangan untuk melihat
siapa saja yang hendak mereka khitbah dari kalangan wanita) (Taqiyuddin
an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 42). Kalimat tersebut jelas
berarti, bahwa kebolehan melihat berdasarkan hadits Jabir RA tersebut, adalah
sebelum khitbah. Sebab dikatakan oleh beliau “melihat siapa saja yang hendak
mereka khitbah.” Syaikh an-Nabhani tidak mengatakan “melihat siapa saja yang
telah mereka khitbah.”
Ini dari segi
tinjauan tunjukan (dalalah) bahasa. Adapun dari segi dalil hadits, telah
terdapat hadits Nabi Saw yang secara jelas menunjukkan bolehnya melihat calon
isteri sebelum khitbah. Dalil ini memperkuat tinjauan bahasa yang kami paparkan
sebelumnya. Nabi Saw bersabda, “Idza khathaba ahadukum al-mar’ata fa-lâ junâha
‘alayhi an yanzhura ilayhâ idzâ kaana innama yanzhuru ilayhaa li-khitbatihi wa
in kânat lâ ta’lam.” (Jika salah seorang kamu hendak mengkhitbah seorang
perempuan, maka tidak ada dosa atasnya untuk melihat perempuan itu jika
semata-mata dia melihat perempuan itu untuk khitbah baginya, meskipun perempuan
itu tidak mengetahuinya). [HR. Ibnu Hibban dan ath-Thabarani, dari Abu Hamid
As-Sa’idiy ra. Hadits hasan. Lihat Imam as-Suyuthi, Al-Jami’ush Shaghir, jld.
I, hal. 24; Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, hal. 354).
Hadits itu
dengan jelas menunjukkan bolehnya melihat perempuan sebelum mengkhitbahnya.
Sabda Nabi Saw “idzâ kâna innama yanzhuru ilayhâ li-khitbatihi” (jika
semata-mata dia melihat perempuan itu untuk khitbah baginya) menunjukkan bahwa
terjadinya aktivitas melihat, adalah sebelum khitbah. Namun hal itu dibolehkan
dengan syarat bahwa aktivitas melihat itu semata-mata untuk kepentingan
khitbah, bukan untuk iseng atau main-main yang tanpa tujuan.
Maka dari
itu, berdasarkan hadits itu (dan hadits lainnya) banyak ulama yang membolehkan
melihat calon isteri sebelum terjadinya khitbah (termasuk Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhani sendiri).
Imam
ash-Shan’ani menyatakan, “Para ulama mazhab Syafi’i mengatakan, hendaknya
melihat perempuan itu adalah sebelum khitbah, supaya kalau laki-laki itu tidak
suka, dia dapat meninggalkan perempuan itu tanpa menyakiti hatinya, beda halnya
kalau sesudah khitbah…” (Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/113).
Syaikh
Taqiyuddin al-Husaini mengatakan, “Waktu melihat, adalah setelah adanya azam
(tekad kuat) [dari seorang laki-laki] untuk menikahi seorang perempuan, dan
sebelum khitbah, agar tidak menyakiti hati perempuan itu andaikata dilakukan
setelah khitbah lalu tidak jadi…” (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
jld. II, hal. 48).
Syaikh
asy-Syarbayni al-Khathib mengatakan, “Waktu melihat, adalah sebelum khitbah dan
setelah ada azam (tekad kuat) untuk menikah. Sebab sebelum adanya azam tidak
ada hajat baginya, dan [jika] sesudah khitbah terkadang dapat menyakiti hati
perempuan kalau tidak jadi…” (Asy-Syarbayni al-Khathib, Al-Iqna’, jld. II, hal.
120).
Demikianlah
contoh beberapa pendapat ulama yang membolehkan melihat calon isteri sebelum
khitbah.
Kesimpulannya,
bahwa secara syar’i mubah bagi seorang laki-laki untuk melihat perempuan calon
isterinya sebelum terjadinya khitbah dari lelaki itu kepada pihak perempuan.
Namun dalam melakukannya, tidak boleh dilakukan dengan berkhalwat (berdua-duan
secara menyendiri) (Taqiyuddin an-Nabhani, An-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam,
hal. 42).
Adapun
melihat setelah khitbah, juga dibolehkan menurut syara’. Diriwayatkan bahwa
al-Mughirah ra telah mengkhitbah seorang perempuan. Nabi Saw lalu bersabda
kepadanya, “Unzhur ilayha! Fa-innahu ahrâ an yu’dama baynakumâ.” (Lihatlah dia!
Karena itu akan lebih mengekalkan perjodohan kalian berdua). [HR. at-Tirmidzi
dan an-Nasa’i. Lihat Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, III/113). Wallahu a’lam
[M. Shiddiq al-Jawi]
26 Agustus 2005
Muhammad Shiddiq
Al-Jawi