Bagaimana Hukum Laki-laki Pakai Daster
LAKI-LAKI PAKAI
DASTER
Soal :
Ustadz, di TV sering
saya lihat ada laki-laki pakai daster perempuan saat pertandingan sepak bola
dalam rangka 17-an. Apakah itu boleh? (N, Yogyakarta)
Jawab :
Haram
hukumnya laki-laki menyerupai perempuan (tasyabbuh bi an-nisaa`)
sebagaimana haram perempuan menyerupai laki-laki (tasyabbuh bi ar-rijal).
Dalilnya
adalah hadits riwayat Ibnu Abbas RA bahwasanya "Rasulullah SAW telah
melaknat para lelaki yang menyerupai para wanita dan [melaknat] para wanita
yang menyerupai para lelaki." (la’ana rasulullah SAW al-mutasyabbihiina
min ar-rijaal bi an-nisaa` wa al-mutasyabbihaat min an-nisaa` bi ar-rijaal).
(HR Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad Juz I hal. 227 & 339, dan HR
al-Bukhari Shahih al-Bukhari hadits no. 5886 & 6834). (Imam
Syaukani, Nailul Authar, [Dar Ibn Hazm : Beirut, 2000], hal. 1306).
Imam Syaukani
memberi syarah (penjelasan) hadits di atas dengan mengatakan,
"Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa haram atas laki-laki menyerupai
wanita, dan haram pula atas perempuan menyerupai laki-laki, dalam hal cara
bicara, pakaian, cara berjalan, dan lain-lain…" (fiihi dalil[un] ‘ala
annahu yuhramu ‘ala ar-rijaal[i] at-tasyabbuhu bi an-nisaa`[i] wa ‘ala
an-nisaa`[i] at-tasyabbuhu bi ar-rijaal[i] fi al-kalaam[i] wa al-libaas[i] wa
al-masyi wa ghairi dzaalika) (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal.
1306).
Maka dari
itu, jelaslah bahwa apa yang ditanyakan, yaitu laki-laki mengenakan daster yang
biasa dipakai perempuan, adalah haram tanpa keraguan lagi.
Perlu kami
tambahkan, bahwa yang dimaksud menyerupai (tasyabbuh) di sini adalah
menyerupai jenis lain dalam segala hal (berbicara, berpakaian, berjalan, dsb)
yang memang menjadi ciri khas jenis lain tersebut. Misalnya laki-laki memakai
pakaian yang secara khusus dipakai wanita saja, semisal daster, rok, kebaya,
kerudung (khimar), jilbab (jubah), dan sebagainya. Atau misalnya
laki-laki memakai anting-anting, cincin emas, memakai kain sutera, dan
sebagainya. Atau sebaliknya, perempuan memakai pakaian yang secara khusus
dipakai laki-laki saja, misalnya perempuan memakai celana panjang khas
laki-laki, atau memakai sepatu khas laki-laki, tas khas laki-laki, dan
sebagainya. Ini semuanya haram.
Adapun jika
suatu pakaian sudah biasa dipakai oleh laki-laki dan juga perempuan, semisal sarung,
maka hukum memakainya baik oleh laki-laki maupun perempuan tidaklah haram.
Karena dalam kondisi tersebut tidak terjadi tindakan menyerupai jenis lain
sehingga hadits di atas tidak dapat diterapkan untuk kondisi itu.
Jika kita
pahami hadits di atas dan mencoba menerapkan kandungan hukumnya pada masyarakat
sekuler saat ini, akan kita dapati banyak sekali penyimpangan syariah dalam hal
menyerupai jenis lain tersebut.
Misalnya saja
eksistensi waria (wanita pria) yang sesungguhnya berjenis kelamin laki-laki,
tapi berpenampilan seperti wanita. Waria ini berdandan, berbicara, berpakaian,
seperti wanita. Ini jelas haram.
Haram pula
mengukuhkan dan mengesahkan eksistensi waria itu dengan segala macam cara dan
sarana. Misalnya, menghimpun waria dalam organisasi/perkumpulan khusus waria,
atau menyelenggarakan kontes-kontes waria yang menjijikkan yang didukung
pejabat. Atau menyuntik para waria dengan hormon perempuan agar tanda-tanda
seksual khas perempuan seperti payudara dapat tumbuh. Atau mengoperasi kelamin
mereka sehingga menjadi seperti kelamin perempuan. Semua ini adalah tindakan
haram.
Haram juga
para artis atau selebritis laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan.
Misalnya, Tessy atau Aming. Perbuatan keduanya adalah haram dan terlaknat.
Haram pula berbagai rumah produksi (PH, production house) dan stasiun TV
yang memproduksi dan menayangkan laki-laki berpenampilan perempuan tersebut.
Penghasilan mereka dari tayangan itu haram dan tidak akan berkah.
Haram juga
laki-laki yang secara psikologis merasa dirinya sebagai perempuan, lalu
berpakaian dan berperilaku seperti perempuan, misalnya berkerudung, padahal
jenis kelaminnya jelas laki-laki. Alasan psikologis semacam itu kadang
dijadikan dalih untuk menolak taqdir Allah yang telah menetapkan jenis kelamin
seseorang. Tentu alasan itu harus ditolak, karena sesungguhnya jiwa merekalah
yang sakit dan harus dirombak total agar kembali kepada fitrahnya yang sehat.
Sanksi Islam
Sebagai agama
fitrah yang sehat, Islam tidak membiarkan adanya orang-orang yang jiwa dan
perilakunya menyimpang dalam masyarakat. Laki-laki yang berperilaku seperti
perempuan, atau perempuan yang berperilaku seperti laki-laki, wajib diusir dan
dikucilkan dari masyarakat ramai. Ini merupakan jenis sanksi ta’zir yang
dijatuhkan oleh Qadhi Hisbah (Muhtasib) atas mereka.
Dalam satu
riwayat Ibnu Abbas RA meriwayatkan Nabi SAW telah melaknat laki-laki banci (mukhannats)
yang berlagak seperti perempuan dan perempuan yang berlagak seperti laki-laki.
Bahkan Nabi SAW mengatakan :
"Keluarkan
mereka dari rumah-rumah kalian." (akhrijuuhum min buyuutikum). Maka
Nabi SAW telah mengeluarkan si Fulan, dan Umar pun pernah mengeluarkan si
Fulan. (HR Ahmad dan Bukhari). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal.
1306).
Nabi SAW
telah mengusir Anjasyah, seorang budak hitam yang berlagak seperti banci.
Demikian juga Umar bin Khaththab telah mengusir Mati’, dan beberapa orang
lainnya (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan lain-lain) (Abdurrahman
al-Baghdadi, Emansipasi Adakah dalam Islam, hal. 73).
Demikianlah
Islam sebagai agama fitrah yang sempurna di samping telah menjelaskan keharaman
menyerupai jenis lain, juga menjelaskan hukuman tegas dengan mengusir dan
mengucilkan para pelaku perbuatan haram itu dari masyarakat.
Ini sangat
jauh berbeda dengan masyarakat sekuler yang rusak dan bejat saat ini. Perbuatan
menyerupai jenis lain itu malah dilindungi dengan dalih HAM, sehingga berbagai
perilaku menjijikkan dan hina itu lalu merajalela secara gila-gilaan di tengah
masyarakat. Ini tidak boleh dibiarkan dan wajib dihentikan, karena ia merupakan
kemungkaran yang nyata.
Yogyakarta, 18 Agustus
2006
Muhammad Shiddiq al-Jawi