MAU UNTUNG TAPI TIDAK MAU
MENANGGUNG RISIKO RUGI
Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan dalil yang
terkait dengan sikap dalam bisnis yang curang, yakni kalau untung dia dapat
lebih besar, kalau rugi mitranya yang menanggung. (IN, Jakarta)
Jawab :
'A`isyah RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW
telah bersabda : al-kharaj bi adh-dhomaan. "Hak
memperoleh keuntungan (pendapatan/manfaat) adalah imbangan dari liabilitas
[kesediaan menanggung kerugian]." (HR Abu Dawud no 3044, At-Tirmidy no
1206, An-Nasa`i no 4414, Ibnu Majah no 2234, Ahmad no 24806). Hadis sahih
(Lihat Nashiruddin Al-Albani, Mukhtashar Irwa`ul Ghalil, hadis no 1446).
Para ulama menjelaskan maksud
hadis ini dengan membuat permisalan contoh kasus, yaitu kasus pengembalian
barang dagangan yang dikembalikan oleh pembeli kepada penjual karena ada cacat
pada barang tersebut. Ketika barang dagangan itu masih di tangan pembeli (tapi
belum dikembalikan kepada penjual) lalu menghasilkan suatu pendapatan/manfaat,
siapakah yang berhak memiliki pendapatan/manfaat barang itu, penjual ataukah
pembeli? Di sinilah hadis ini menunjukkan bahwa apa-apa yang keluar (kharaj)
dari sesuatu barang yang telah dibeli, misalnya anak kambing dari kambing yang
telah dibeli, atau jasa/pelayanan dari budak yang telah dibeli, atau buah dari
pohon yang sudah dibeli, adalah hak bagi pihak pembeli (bukan hak penjual). Ini
dikarenakan pembeli itulah yang bersedia menanggung kerugian (dhoman),
misalnya risiko kerusakan/cacat/hilang pada barang yang sudah dibeli
tersebut.(Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibnu Hazm,
2000], hal 1075, Aunul Ma'bud, Juz VIII, hal. 3, Imran Ahsan Khan
Nyazee, Fikih Korporasi, [Surabaya : JP Books, 2008], hal. 75).
Dengan demikian, sikap
seseorang yang hanya mau untung tapi tak mau menanggung kerugian –atau
melemparkan tanggung jawab kerugian kepada pihak lain— amat bertentangan dengan
prinsip umum al-kharaj bi al-dhaman di atas. Sebab prinsip ini
menegaskan bahwa pihak yang berhak mendapatkan keuntungan hanyalah pihak yang
siap menanggung kerugian. Inilah prinsip umum muamalah yang adil.
Selain itu, sikap tersebut
juga bertentangan dengan kaidah hukum Islam (al-qawaid al fiqhiyyah, Islamic
legal maxim) yang berbunyi : Al-Ghurmu bi al-ghunmi.
"Kesediaan menanggung kerugian diimbangi dengan hak mendapatkan
keuntungan." (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtisahdi fi
al-Islam, hal. 190; lihat juga kaidah ini dalam kitab-kitab ushul fiqih
seperti : Kasyful Asrar, Juz III hal. 155, Syarah At-Talwih 'Ala
Al-Taudhih, Juz II hal. 391, Al-Mantsur fi Al-Qawaid, Juz II hal.
111, At-Taqrir wa At-Tahbir, Juz III hal. 497, Al-Asybah wa
An-Nazha`ir, Juz I hal. 244)
Kaidah hukum Islam ini
pengertiannya sama dengan hadis yang diuraikan sebelumnya, yaitu hanya mereka
yang mau menanggung kerugian sajalah yang berhak mendapatkan keuntungan.
Maka dari itu, sikap seseorang
yang hanya mau untung tapi tak mau menanggung kerugian (atau memikulkan
kerugian kepada pihak lain) adalah sikap yang diharamkan menurut ajaran Islam. Wallahu
a'lam.
Yogyakarta, 8 Oktober 2009
Muhammad Shiddiq Al-Jawi