Hukum Pembiayaan Talangan Haji
HUKUM PEMBIAYAAN TALANGAN
HAJI
Tanya :
Ustadz,
bagaimana hukumnya pembiayaan talangan haji?
Jawab :
Pembiayaan talangan haji adalah pinjaman (qardh) dari
bank syariah kepada nasabah untuk menutupi kekurangan dana guna memperoleh
kursi (seat) haji pada saat pelunasan BPIH (Biaya Perjalanan Ibadah
Haji). Dana talangan ini dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Nasabah
kemudian wajib mengembalikan sejumlah uang yang dipinjam itu dalam jangka waktu
tertentu. Atas jasa peminjaman dana talangan ini, bank syariah memperoleh
imbalan (fee/ujrah) yang besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang
dipinjamkan.
Dasar fikihnya adalah akad qardh wa ijarah,
sesuai Fatwa DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Nomor 29/DSN-MUI/VI/2002 tanggal
26 Juni 2002 tentang biaya pengurusan haji oleh LKS (lembaga keuangan syariah).
Jadi akad qardh wa ijarah adalah gabungan dua akad, yaitu akad qardh
(pinjaman) dengan akad ijarah (jasa), yaitu jasa LKS memberikan pinjaman
kepada nasabah. Dalil utama fatwa DSN ini antara lain dalil yang membolehkan ijarah
(seperti QS Al-Qashash [28]:26) dan dalil yang membolehkan meminjam uang (qardh)
(seperti QS Al-Baqarah [2]:282).
Menurut kami, akad qardh wa
ijarah tidak sah menjadi dasar pembiayaan talangan haji, karena :
Pertama, dalil yang digunakan tak sesuai untuk membolehkan akad qardh
wa ijarah. Sebab dalil yang ada hanya membolehkan qardh dan ijarah
secara terpisah. Tak ada satupun dalil yang membolehkan qardh dan ijarah
secara bersamaan dalam satu akad.
Kedua, penggabungan dua akad menjadi satu akad sendiri hukumnya
tidak boleh. Memang sebagian ulama membolehkan, seperti Imam Ibnu Taimiyah
(ulama Hanabilah) dan Imam Asyhab (ulama Malikiyah). Namun yang rajih adalah
pendapat yang tidak membolehkan, yakni pendapat jumhur ulama empat mazhab,
yakni ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah. (Imam Sarakhsi, Al-Mabsuth,
13/16; Hasyiah al-Dasuqi ‘Ala Al-Syarh al-Kabir, 3/66; Imam Nawawi, Al-Majmu’,
9/230; Al-Syarh al-Kabir, 11/230; M. Abdul Aziz Hasan Zaid, Al-Ijarah
Baina Al-Fiqh al-Islami wa al-Tathbiq al-Mu’ashir, hal. 45).
Ketiga, menurut ulama yang membolehkan penggabungan dua akad pun,
penggabungan qardh dan ijarah termasuk akad yang tak dibolehkan.
(Ibnu Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, 29/62; Fahad Hasun, Al-Ijarah
al-Muntahiyah bi At-Tamlik, hal. 24).
Keempat, akad qardh wa ijarah tidak memenuhi syarat ijarah.
Sebab dalam akad ijarah, disyaratkan obyek akadnya bukan jasa yang diharamkan.
(M. Abdul Aziz Hasan Zaid, ibid., hal. 17; Taqiyuddin Nabhani, An-Nizham
al-Iqtishadi fi al-Islam, hal.93).
Dalam akad qardh wa ijarah, obyek akadnya adalah jasa
qardh dengan mensyaratkan tambahan imbalan. Ini tidak boleh, sebab
setiap qardh (pinjaman) yang mensyaratkan tambahan adalah riba, meski
besarnya tak didasarkan pada jumlah dana yang dipinjamkan. Kaidah fikih
menyebutkan : Kullu qardhin syaratha fiihi an yazidahu fahuwa haram
bighairi khilaf. (Setiap pinjaman yang mensyaratkan tambahan
hukumnya haram tanpa ada perbedaan pendapat). (M. Sa’id Burnu, Mausu’ah
al-Qawa’id al-Fiqhiyah, 8/484).
Kesimpulannya, pembiayaan talangan haji hukumnya haram.
Sebab fatwa DSN tentang akad qardh wa ijarah yang mendasarinya tidak sah
secara syar’i. Dengan kata lain, fatwa DSN mengenai qardh wa ijarah
menurut kami keliru dan tidak halal diamalkan. Wallahu a’lam.
Jakarta, 4 Oktober 2010
Muhammad Shiddiq Al-Jawi