HUKUM
MENGGABUNGKAN DUA AKAD DALAM SATU AKAD
(AL-'UQUD AL-MURAKKABAH)
Tanya :
Ustadz, mohon penjelasan tentang hukum menggabungkan dua akad menjadi
satu akad.
Jawab :
Penggabungan dua akad atau lebih
menjadi satu akad dalam fiqih kontemporer disebut al-uqud al-murakkabah
(akad rangkap / multi akad). Menurut penggagasnya, akad rangkap adalah
kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad
atau lebih, misalnya akad jual-beli dengan ijarah, akad jual beli dengan hibah
dst, sedemikian sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta
semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak
dapat dipisah-pisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari
satu akad. (Nazih Hammad, Al-Uqud Al-Murakkabah fi al-Fiqh al-Islami,
hal. 7; Abdullah al-Imrani, Al-Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, hal. 46).
Aplikasinya dalam bank syariah misalnya
akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan
Pembelian]/Deferred Payment Sale). Akad ini tidak sama persis dengan
akad Murabahah yang asli, yaitu jual beli pada harga modal (pokok)
dengan tambahan keuntungan yang diketahui dan disepakati oleh penjual dan
pembeli. (Shalah Ash-Shawi & Abdullah Mushlih, Maa Laa Yasa'u At-Tajiru
Jahlahu, hal. 77; Abdur Rouf Hamzah, Al-Bai' fi Al-Fiqh Al-Islami, hal.
15; Ayid Syarawi, Al-Masharif al-Islamiyah, hal. 399 dst).
Adapun Murabahah KPP, lebih kompleks dan melibatkan tiga
pihak, yaitu pembeli, lembaga keuangan, dan penjual. Prosesnya : pembeli
(nasabah) memohon lembaga keuangan membeli barang, lalu lembaga keuangan
membeli barang dari penjual secara kontan, lalu lembaga keuangan menjual lagi
barang itu kepada pembeli dengan harga lebih tinggi, baik secara kontan,
angsuran, atau bertempo. (Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek,
hal.107; Ayid Syarawi, Al-Masharif
al-Islamiyah, hal. 412).
Jadi dalam Murabahah KPP ini ada dua akad; akad jual beli
antara lembaga keuangan dan penjual; dan akad jual beli antara lembaga keuangan
dengan pembeli.
Menurut penggagasnya, akad rangkap
hukumnya mubah berdasar kaidah fikih : al-ashlu fi al-muamalat al-ibahah (hukum
asal muamalah adalah boleh). Maka hadits-hadits yang mengharamkan dua jual beli
dalam satu jual beli (baiataini fi baiatin), atau mengharamkan dua akad
dalam satu akad (shafqatain fi shafqatin), dipahami hanya perkecualian
dari hukum asalnya. (Hasanudin, Multi Akad dalam Transaksi Syariah
Kontemporer, hal. 13).
Pendapat yang terpilih (rajih)
bagi kami, akad rangkap hukumnya tidak sah secara syari. Alasan kami; Pertama, kaidah fiqih yang
digunakan tidak tepat. Dengan mendalami asal-usulnya, nyatalah kaidah itu hanya
cabang dari kaidah al-ashlu fi al-asy-ya` al-ibahah (hukum asal segala
sesuatu adalah boleh). Padahal nash-nash yang mendasari kaidah al-ashlu fi
al-asy-ya` al-ibahah (misal QS Al-Baqarah:29) berbicara tentang hukum benda
(materi), bukan tentang hukum muamalah (perbuatan manusia). (Hisyam Badrani, Tahqiq
Al-Fikr Al-Islami, hal. 39).
Kedua, ada nash yang melarang penggabungan
akad. Ibnu Masud RA berkata,Nabi SAW melarang dua kesepakatan dalam satu
kesepakatan (shafqatain fi shafqatin) (HR Ahmad, Al-Musnad,
I/398). Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani hadits ini melarang adanya dua akad
dalam satu akad, misalnya menggabungkan dua akad jual beli menjadi satu akad,
atau akad jual beli digabung dengan akad ijarah. (al-Syakhshiyah
al-Islamiyah, II/308).
Hadits ini bukan perkecualian,
melainkan larangan menggabungkan akad secara mutlak, tanpa melihat akad-akad
yang digabungkan bertentangan atau tidak. Kaidah ushul fikihnya : Al-Muthlaq
yajri ala ithlaqihi maa lam yarid dalil yadullu ala at-taqyid (dalil mutlak
tetap dalam kemutlakannya, selama tidak ada dalil yang membatasinya) (Wahbah
Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, I/208). Wallahu alam.
Yogyakarta, 26
September 2010
Muhammad
Shiddiq al-Jawi