Bagaimana Tata Cara Sholat Dalam Situasi Sulit Dan Sempit
CARA
SHOLAT DALAM SITUASI SULIT DAN SEMPIT
SOAL:
Ada hal yang ingin saya tanyakan seputar masalah
shalat. Kondisinya sebagai berikut : Asumsikan si A biasa hidup dan tinggal di
Indonesia, yang notabene dapat melakukan ibadah shalat 5 waktu dengan baik,
karena tersedianya sarana dan prasarana yang menunjang, misalnya : banyak
masjid, suara azan terdengar di mana-mana, orang-orang di sekitarnya sebagian
beragama Islam sehingga memahami dan mendukung betul akan kewajiban shalat, dan
seterusnya. Nah sekarang si A mendapatkan suatu pekerjaan baru yang menyebabkan
dia harus berhijrah untuk 2 tahun lamanya ke suatu daerah terpencil di mana di
situ dia tidak mendapatkan masjid, tidak mendengar azan, tidak mendapatkan
lingkungan orang-orang se-iman (seluruh teman kerjanya adalah non muslim).
Pendek kata sarana dan prasarananya tidak sekondusif waktu ia masih di tanah
air, dan jenis pekerjaannya adalah jenis pekerjaan yang boleh dikatakan kasar,
penuh kotoran, lumpur, dan membutuhkan waktu standby yang lama (kurang lebih 18
jam kerja nonstop, kemudian istirahat 12 jam, dan bekerja lagi, begitu
sehari-harinya) sehingga kalau pekerjaan yang 18 jam itu ditinggalkan 5 menit
saja akan berakibat hancurnya alat-alat kerja dan mesin-mesin kerja di
perusahaan tempat si A bekerja. Pendek kata si A bekerja di penambangan minyak
bumi di lokasi tengah samudera dengan total personil yang ada di lokasi hanya
10 orang (hanya A yang muslim di situ).
Nah pertanyaannya :
1. Bagaimana cara melakukan sholat wajib (fardhu) yang 5 waktu dengan kondisi
yang sangat terbatas tersebut, apakah ada keringanan-keringanan caranya
(mungkin : apakah bisa dipercepat, atau ada gerakan khusus yang bisa
dipercepat, atau bagaimana?), karena si A hanya mempunyai waktu luang 12 jam
sehari, sisanya full bekerja. Dan pada saat bekerja pun badan dan pakaiannya
selalu kotor oleh lumpur, dan minyak bumi.
2. Bagaimana si A melakukan sholat Jumat? Bukankah tidak
mungkin, karena hanya ada 10 orang termasuk si A yang ada di lokasi (quota
shalat Jumat =50), dan hanya si A yang muslim.
3. Adakah cara berwudhu yang singkat (yang penting-penting
saja) bagian tubuh yang mana saja yang penting untuk dicuci/dibasuh, jika
keadaan dan waktu
sangat mendesak? (Augustin Leuwis, aleuwis@yahoo.com This email address
is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it )
JAWAB :
Sebelum kami
menjawab pertanyaan, pertama-pertama kami turut merasa prihatin dengan keadaan
si A tersebut. Kami berdoa kepada Allah SWT agar Allah SWT mengaruniakannya
kesabaran menghadapi kondisi tersebut. Semoga si A termasuk ke dalam
orang-orang yang tetap mengingat Allah di tengah pekerjaannya, sebagaimana
disebut oleh firman Allah SWT:
“...laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) jual beli dari mengingat Allah, dan
(dari) mendirikan sholat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu
hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS An-Nuur :
37)
Adapun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Anda adalah
sebagai berikut :
1. Cara Sholat Fardhu :
Pertama, hendaknya A
meniatkan menjadi musafir, yaitu menjadi orang dalam perjalanan, dalam suatu
perjalanan (safar) yang melampaui batas jarak minimal, yaitu 16 farsakh
(=88,704 km) sesuai perhitungan Abdul Qadim Zallum dalam Al Amwal fi Daulah Al
Khilafah, hal. 60. Mengapa perlu niat menjadi musafir? Sebab musafir akan
mendapat rukhsah (keringanan) untuk boleh menjama’ dan mengqashar sholat. Jadi,
si A di sana hendaknya tidak meniatkan tempat kerjanya itu sebagai tempat
tinggalnya secara tetap (sebagai mukim/musthautin). Dengan niat menjadi
musafir, maka selama A berstatus sebagai musafir, dia boleh menjama’ dan
mengqashar sholatnya, walaupun dia berada di satu tempat untuk jangka waktu
yang lama (Inilah pendapat Abu Hanifah. Lihat Muhammad bin Abdurrahman,
Rohmatul Ummah, hal. 39). Dalilnya antara lain hadits riwayat Imam Al Baihaqi
dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW pernah tinggal di Hunain selama 40 hari dan beliau
mengqashar shalatnya. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush Sholat, hal. 85-87).
Dinukilkan oleh Ibnul Mundzir dalam kitabnya Al-Isyraf, ”Telah sepakat ahli
ilmu menetapkan bahwa para musafir boleh terus mengqasharkan shalatnya, selama
ia belum berniat iqamah (tinggal secara tetap), walaupun berlalu
bertahun-tahun.” (Lihat Hasbi Ash Shiddieqy, Pedoman Shalat, hal. 447).
Kedua, lakukan sholat
jama’ dan qashar (untuk sholat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya`) dengan satu
kali thaharah saja. Caranya : Berwudhulah sekitar pukul 17.00 sore (masih dalam
waktu ashar, tapi menjelang maghrib). Lalu lakukan sholat jama’ ta`khir
(mengerjakan sholat Zhuhur dan Ashar pada waktu ashar). Masing-masing diqashar
(diringkas jumlah rakaatnya yang empat menjadi dua rakaat). Kerjakan zhuhur dua
rakaat dan ashar dua rakaat. Tapi niat jama’ ta`khir ini wajib dilakukan ketika
waktu zhuhur. Setelah itu, tunggulah masuknya waktu maghrib dan usahakan
wudhunya sampai batal. Ketika waktu maghrib tiba, segera kerjakan sholat jama`
taqdim (mengerjakan sholat Maghrib dan Isya` pada waktu maghrib). Kerjakan
Maghrib tiga rakaat (tidak boleh diqashar) disertai niat jama’ taqdim lalu
kerjakan Isya` dua rakaat. Dengan demikian, Anda telah mengerjakan empat waktu
shalat (sholat Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya`) dengan satu kali wudhu saja,
dan dalam jangka waktu hanya sekitar satu jam ! (Lihat Prof. Mahmud Yunus,
Al-Fiqh al-Wadhih, Juz II, hal. 18). Maka jika memungkinkan, mintalah waktu
istirahat antara pukul 17.00 –18.30 (misalnya) agar si A dapat mengerjakan cara
sholat seperti ini. Jika tidak memungkinkan, kerjakan sholat secara jama’ (baik
jama’ taqdim maupun ta`khir) dan diqashar. Adapun sholat Subuh, maka mau tidak
mau dia harus dikerjakan pada waktunya dan tidak boleh diqashar, juga tidak
boleh dijama` untuk digabung dengan sholat lainnya.
Ketiga, untuk mempercepat
shalat, lakukan gerakan atau bacaan yang rukun-rukun (wajib) saja, dan tidak
mengapa meninggalkan yang sunnah-sunnah (yang tidak wajib). Misalnya, setelah
takbiratul ihram yang berbarengan dengan niat, bacalah langsung basmalah dan
surat Al-Fatihah, tidak wajib membaca doa iftitah. Juga cukup membaca
Al-Fatihah saja, dan tidak wajib membaca surat setelah membaca Al-Fatihah.
Tidak wajib mengangkat tangan ketika akan ruku’, dan ketika bangkit dari ruku`.
Juga tidak wajib membaca doa pada saat ruku` dan sujud. Asalkan tetap
thuma`ninah (diam sebentar). Atau bacalah walau cuma sekali, misalnya saat
ruku` cukup membaca sekali “Subhaana rabbiyal azhiim.” Atau saat sujud bacalah
walau sekali ““Subhaana rabbiyal a’laa”. Waktu duduk di antara dua sujud boleh
tidak membaca apa-apa, asalkan thuma`ninah. Atau bacalah doa yang singkat
sekali “Rabbighfirli, Rabbighfirli” (HR. An-Nasa`i). Ketika akan bangkit untuk
rakaat kedua, langsung saja berdiri, tidak wajib duduk istirahat. Salam yang
wajib cukup sekali (menoleh ke kanan). Salam yang kedua (menoleh ke kiri)
adalah sunnah. Dan cukuplah pada salam pertama hanya membaca “Assaalamu
‘alaikum” (Lihat Prof. Mahmud Yunus, Al-Fiqh al-Wadhih, Juz I, hal. 27).
Keempat, perhatikan, pakaian yang kotor
boleh digunakan untuk sholat, selama kotoran itu bukan najis. Bedakan antara
“kotor” dan “najis”. Pakaian yang terkena lumpur, adalah suci (bukan najis),
sebab lumpur sendiri bukan najis. Begitu pula, pakaian yang terkena minyak bumi
adalah suci, sebab minyak bumi bukan najis. Maka tidak mengapa sholat dengan
pakaian berlumpur dan pakaian berminyak. Hanya saja ini kurang afdhol (khilaf
al-aula). Yang lebih baik lagi (walaupun tidak wajib) adalah mengenakan pakaian
yang suci lagi bersih/indah. Firman Allah SWT :
“Hai anak Adam, pakailah
pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid...” (QS Al-A’raaf : 31).
Yang dimaksud “di setiap
(memasuki) mesjid” adalah : tiap-tiap akan sholat, atau thawaf keliling Ka’bah,
atau ibadah-ibadah lainnya (lihat Imam As-Suyuthi, Al-Iklil fi Istinbath
At-Tanzil, hal. 106).
2. Cara Sholat Jumat :
Sholat Jumat
tidak wajib hukumnya atas si A tersebut. Sebab, sholat Jumat tidaklah wajib
bagi seorang musafir. Tidak wajibnya musafir untuk sholat Jumat karena tidak
pernah diriwayatkan bahwa Nabi SAW mendirikan sholat Jumat pada saat beliau
dalam perjalanan. Demikianlah pendapat jumhur ulama (Muhammad bin Abdurrahman,
Rohmatul Ummah, hal. 41; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/147; Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, II/58).
Maka dari
itu, jika si A meniatkan menjadi musafir di tempat kerjanya tersebut, tidaklah
wajib atasnya sholat Jumat. Namun dia tetap wajib menjalankan sholat Zhuhur dan
dia dapat mengerjakannya secara jama’ taqdim, atau secara jama’ ta`khir seperti
yang dijelaskan di atas.
Sebagai
informasi tambahan, mengenai nishob (jumlah minimal) peserta sholat Jumat,
menurut pemahaman kami, tidaklah wajib 40 orang. Dalam hal ini, memang yang
masyhur di Indonesia adalah madzhab Imam Syafii yang berpendapat minimal harus
40 orang yang musthautin (yakni mukim, bukan musafir). Madzhab Imam Ahmad juga
berpendapat demikian. Dalilnya antara hadits Jabir bin Abdillah RA,”Telah
berlalu sunnah bahwa pada setiap 40 orang ke atas dilakukan sholat Jumat.” (HR.
Ad-Daruquthni). Namun hadits ini lemah (dhaif) dan tidak dapat dijadikan hujjah
(dalil). Demikian menurut penilaian Imam Baihaqi, Ibnu Hibban, dan lain-lain
(Subulus Salam, II/56, Kifayatul Akhyar, I/148). Maka kami lebih cenderung
kepada pendapat bahwa sholat Jumat dapat dilakukan oleh tiga orang (minimal)
atau lebih. Inilah pendapat Imam Al-Auza’i dan Abu Yusuf. Dalilnya adalah
firman Allah SWT :
“Wahai orang-orang yang beriman,
jika kamu diseru untuk menunaikan sholat pada hari Jumat, maka bersegeralah
kamu untuk mengingat Allah...” (QS Al-Jumu’ah : 10)
Firman Allah
“bersegeralah kamu” (Arab : fas`auw) merupakan khithab (seruan) yang tertuju
kepada orang dalam jumlah jama’ (plural). Sedangkan jumlah jama’ paling sedikit
adalah tiga. Maka, ayat ini adalah dalil bahwa sholat Jumat wajib didirikan
oleh sebuah jamaah yang jumlahnya minimal tiga orang (lihat Ash-Shan’ani,
Subulus Salam, I/56).
3. Cara Wudhu :
Perhatikan
bahwa minyak kadang dapat menghalangi kulit dari sampainya air wudhu. Maka,
pastikan bahwa kulit wajah, tangan (hingga siku), dan kaki (sampai mata kaki)
telah bersih dari minyak dan dapat terkena air wudhu. Pakailah sabun atau yang
semacamnya untuk menghilangkan minyak dari kulit.
Jika keadaan
sempit, lakukan wudhu pada yang anggota tubuh yang wajib-wajib saja, dan tidak
mengapa meninggalkan yang sunnah-sunnah. Dan cukup dibasuh atau diusap
sekali-sekali saja. Itu sudah mencukupi (sah).Tidak wajib tiga kali. Caranya,
kerjakan secara tertib (berurutan) : (1) basuhlah wajah (sekali) dan berniatlah
wudhu pada saat membasuh wajah ini, (2) lalu basuhlah kedua tangan sampai siku
(masing-masing sekali), (3) lalu usaplah sebagian kepala (sekali), (4) lalu
basuhlah kedua kaki sampai mata kaki (masing-masing sekali). Selain itu
hukumnya sunnah (tidak wajib), seperti membaca basmalah pada permulaan wudhu,
membasuh kedua telapak tangan, berkumur-kumur, membersihkan lubang hidung, dan
mengusap telinga (Kifayatul Akhyar, I/22-24).
Wudhu boleh
juga menggunakan air laut. Jadi, bagi si A yang kebetulan bekerja di samudera,
boleh menggunakan air laut untuk berwudhu, sebab air laut adalah suci
sebagaimana sabda Nabi SAW :
“[Laut] itu adalah suci airnya
dan halal bangkainya.” (HR. Ibnu Hibban, At-Tirmidzi, dan Al-Bukhari. Lihat
Subulus Salam, I/15; Kifayatul Akhyar, I/6)
Demikianlah
jawaban kami. Semoga Allah memberi petunjuk bagi hamba-Nya yang bertaqwa dan
ikhlas beribadah kepada-Nya. Wallahu a’lam
Yogyakarta, 11
Januari 2004
M. Shiddiq Al-Jawi