Bagaimana Hukum Menjual Kulit Binatang Kurban
BARANG SIAPA MENJUAL KULIT KURBAN, TIDAK ADA PAHALA
KURBAN BAGINYA
Soal :
1.
Ustadz
tolong jelaskan hukum menjual kulit hewan kurban? (Taufik Hidayat, Yogya)
2.
Bagaimana
kalau kulit hewan ditukar dengan daging, lalu daging itu diberikan kepada fakir
miskin, bolehkah? (Hassan, Bantul)
Jawab
:
Tidak boleh hukumnya menjual kulit hewan
kurban. Demikianlah pendapat jumhur ulama tiga mazhab (Imam Maliki, Syafi’i,
dan Ahmad) (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/352; Qadhi Shafad, Rahmatul
Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 85).
Hukum ini berlaku bagi pekurban (al-mudhahhi/shahibul
kurban) dan juga berlaku bagi siapa saja yang mewakili pekurban, misalnya
takmir masjid atau panitia kurban pada suatu instansi.
Dalil haramnya menjual kulit kurban ada
dua, yaitu hadis-hadis Nabi SAW yang melarang menjual kulit kurban, dan hukum
syar’i bahwa status kepemilikan kambing kurban telah lenyap dari pekurban pada
saat kurban disembelih.
Hadits-hadits Nabi SAW itu di antaranya :
1.Dari Ali bin Abi Thalib RA, dia
berkata,”Rasulullah SAW telah memerintahkan aku mengurusi unta-unta beliau
(hadyu) dan membagikan daging-dagingnya, kulit-kulitnya…untuk kaum miskin. Nabi
memerintahkanku pula untuk tidak memberikan sesuatu pun darinya bagi
penyembelihnya (jagal) [sebagai upah].” (Muttafaq ‘alaihi) (Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/95)
Dari hadits di atas, Imam Asy-Syirazi
mengatakan,”Tidak boleh menjual sesuatu dari hadyu dan kurban, baik kurban yang
wajib (nadzar) atau kurban yang sunnah.” (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab,
I/240)
2.Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Barangsiapa
menjual kulit kurbannya, maka tidak ada [pahala] kurban baginya.” (Man baa’a
jilda udhiyyatihu fa-laa udh-hiyyata lahu) (HR. Al-Hakim &
Al-Baihaqi) (Hadis ini sahih menurut Imam Suyuthi. Lihat Imam Suyuthi,
Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/167)
Dari hadits ini para ulama menyimpulkan
haramnya pekurban untuk menjual kulit kurbannya (Syaikh Zakariya Al-Anshari, Fathul
Wahhab, II/179, Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/281).
Adapun dalil kedua, berupa hukum syara’
tentang status kepemilikan kambing kurban. Pada saat disembelih, hilanglah
kepemilikan kurban dari pekurban. Maka dari itu, jika pekurban atau wakilnya
menjual kulit kurban, sama saja dia menjual sesuatu yang bukan miliknya lagi.
Ini jelas tidak boleh.
Dalam masalah ini Imam Asy-Syirazi
berkata,”Ketidakbolehan menjual kulit kurban juga dikarenakan hadyu atau kurban
itu telah keluar dari kepemilikan pekurban sebagai taqarrub kepada Allah, maka
tidak boleh ada yang kembali kepadanya kecuali apa yang dibolehkan sebagai
rukhsah yaitu dimakan (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240; As-Sayyid
Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/333).
Jadi, jelaslah bahwa menjual kulit kurban
itu haram hukumnya. Haram pula menjadikan kulit kurban sebagai upah kepada jagal
(penyembelih) kurban.
Lalu kulit kurban itu akan diapakan? Kulit
kurban itu dapat disedekahkan oleh al-mudhahhi (shahibul kurban) kepada
fakir dan miskin (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, II/242).
Inilah yang afdhol (utama). Jadi perlakuan pada kulit kurban sama dengan
bagian-bagian hewan kurban lainnya (yang berupa daging), yakni disedekahkan
kepada fakir dan miskin. Dalilnya adalah hadis sahih dari Ali bin Abi Thalib RA
di atas.
Boleh pula kulit kurban itu dimanfaatkan
oleh pekurban, misalnya dibuat sandal, khuf (semacam sepatu), atau timba.
Dalilnya adalah hadits Aisyah RA. Aisyah
RA meriwayatkan bahwa orang-orang Arab Badui pernah datang berombongan minta
daging kurban pada saat Idul Adha. Rasulullah SAW lalu bersabda,”Simpanlah
sepertiga dan sedekahkanlah sisanya.” Setelah itu ada yang berkata kepada
Rasulullah SAW,”Wahai Rasululah sesungguhnya orang-orang biasa memanfaatkan
kurban-kurban mereka, mereka membuat lemak darinya, dan membuat wadah-wadah
penampung air darinya.” Rasulullah menjawab,”Apa masalahnya?” Mereka
menjawab,”Wahai Rasulullah, Anda telah melarang menyimpan daging-daging kurban
lebih dari tiga hari.” Rasulullah SAW menjawab,”Sesungguhnya aku melarang hal
itu karena adanya orang Baduwi yang datang berombongan minta daging kurban (min
ajli ad-daafah). [Sekarang] makanlah, sedekahkanlah, dan simpanlah.” (HR.
Tirmidzi, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/97; Imam Asy-Syirazi,
Al-Muhadzdzab, I/240). Hadits ini menunjukkan bolehnya memanfaatkan
kulit kurban misalnya untuk dijadikan wadah-wadah penampung air dan sebagainya
(Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/240)
Memang ada sebagian ulama yang membolehkan
menjual kulit kurban. Menurut Imam Abu Hanifah, boleh menjual kulit kurban tapi
bukan dengan dinar dan dirham (uang). Maksudnya, boleh menjual kulit kurban
dengan menukarkan kulit itu dengan suatu barang dagangan (al-‘uruudh)
(Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/97,Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul
Akhyar, II/242). Menurut Imam An-Nakha’i dan Imam Al-Auza’i, boleh menjual
kulit kurban dengan peralatan rumah tangga yang bisa dipinjamkan, misalnya
kapak, timbangan, dan bejana. Menurut Imam ‘Atha` (tabi’in), tidak apa-apa
menjual kulit kurban baik dengan dirham (uang) maupun dengan selain dirham.
(Qadhi Shafad, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A’immah, hal. 85).
Dalil ulama yang membolehkan menjual kulit
kurban, adalah hadits yang membolehkan memanfaatkan (intifa’) kurban,
yaitu hadis riwayat Imam Tirmidzi dari Aisyah RA di atas. Dalam pandangan Imam
Abu Hanifah, atas dasar hadits itu, boleh melakukan pertukaran (mu’awadhah)
kulit kurban asalkan ditukar dengan barang dagangan (al-‘uruudh), bukan
dengan uang (dinar dan dirham). Sebab pertukaran kulit kurban dengan barang
dagangan termasuk dalam pemanfaatan kurban (intifa’) yang dibolehkan hadits
menurut semua ulama secara ijma’ (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid,
I/352, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/95).
Pendapat ulama yang membolehkan menjual
kulit kurban itu adalah pendapat yang lemah, berdasarkan dua hujjah berikut :
Pertama, telah terdapat nash hadis sahih yang mengharamkan menjual belikan
kulit kurban. Nabi SAW bersabda,“Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka
tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Haramnya menjual kulit kurban dalam hadis
di atas bersifat umum, artinya mencakup segala bentuk jual beli kulit kurban.
Baik menukar kulit dengan uang, maupun menukar kulit dengan selain uang
(misalnya dengan daging). Semuanya termasuk jual beli, sebab jual beli adalah
menukarkan harta dengan harta (mubadalatu maalin bi maalin). Maka
penukaran kulit kurban dengan selain dinar dan dirham (uang), misalnya kulit
kurban ditukar dengan daging, tetap termasuk jual beli juga.
Perlu diketahui, bahwa ditinjau dari objek
dagangan (apa yang diperdagangkan), jual beli ada tiga macam :
(1) jual beli umum, yaitu menukar uang dengan barang,
(2) jual beli ash-sharf (money changing), yaitu
menukar uang dengan uang,
(3) jual beli al-muqayadhah (barter), yaitu menukar barang
dengan barang. (Lihat Abdullah al-Mushlih dan Shalah Ash-Shawi, Fikih
Ekonomi Keuangan Islam [Maa Laa Yasa’u At-Taajir Jahluhu], Penerjemah Abu
Umar Basyir, Jakarta : Darul Haq, 2004, hal. 90)
Atas dasar itu, keharaman menjual kulit
ini mencakup segala bentuk tukar menukar kulit, termasuk menukar kulit dengan
barang dagangan. Sebab hal ini tergolong jual beli juga, yakni apa yang dalam
istilah fiqih disebut al-muqayadhah (barter).
Kedua, tidak dapat diterima membolehkan jual beli kulit dengan hujjah
hadits Aisyah tentang bolehnya memanfaatkan (intifa’) kurban.
Sebab kendatipun hadits Aisyah itu
bermakna umum, yaitu membolehkan pemanfaatan kurban dalam segala bentuknya
secara umum, tapi keumumannya telah dikhususkan (ditakhsis) dengan hadits yang
mengharamkan pemanfaatan dalam bentuk jual beli (hadits Abu Hurairah). Kaidah
ushul fiqih menyatakan :
Al-‘aam
yabqaa ‘alaa ‘umuumihi maa lam yarid dalil al-takhsis
“Dalil umum tetap berlaku
umum, selama tidak terdapat dalil yang mengkhusukannya (mengecualikannya).”
Atas dasar itu, menukar kulit dengan
barang dagangan tidak termasuk lagi dalam pemanfaatan kulit yang hukumnya
boleh, sebab sudah dikecualikan dengan hadits yang mengharamkan jual beli
kulit.
Kesimpulannya, menjual kulit kurban
hukumnya adalah haram, termasuk menukar kulit dengan daging untuk disedekahkan
kepada fakir miskin. Inilah pendapat yang kami anggap rajih (kuat),
sesuai hadis Nabi SAW yang sahih, “Barangsiapa menjual kulit kurbannya, maka
tidak ada [pahala] kurban baginya.” (HR Al-Hakim dan Al-Baihaqi).
Yogyakarta,
26 Desember 2005
Muhammad Shiddiq
Al-Jawi