Bagaimana Hukum Sate Tupai Dan Landak
SATE TUPAI DAN LANDAK
Soal :
Ustadz bagaimana hukumnya sate
tupai dan landak? (Syifa`, Yogya)
Jawab :
Untuk menjawab pertanyaan itu,
harus diketahui dulu hukum tupai dan landak, apakah keduanya halal dimakan atau
tidak?
Tupai
Tupai (bajing) dalam bahasa
Arabnya disebut as-sanjaab. Hukumnya halal, sebab tidak ada dalil
yang mengharamkannya.
Dalam kitab at-Tibyan li
Maa Yuhallal wa Yuharram min al-Hayawan hal. 109, Imam Syihabuddin
asy-Syafi’i (w.808 H) mengatakan, “Tupai, ia hukumnya halal…” (as-sanjaab,
wa huwa halaal…).
Dalilnya adalah prinsip dasar
hukum syariah Islam, bahwa “al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibaahah maa lam yarid
dalil al-tahriim” (Hukum asal benda adalah mubah selama tidak ada dalil
yang mengharamkan).
Imam asy-Syaukani menjelaskan
kaidah tersebut pada bagian akhir bab tentang makanan, buruan, dan sembelihan
dengan mengatakan,”Berbagai ayat dan hadis yang disebut pada awal bab ini
menunjukkan bahwa hukum asal benda adalah halal (al-ashlu al-hill).
Pengharaman tidak dapat ditetapkan kecuali jika ada [dalil] yang memindahkan
dari hukum asalnya yang sudah diketahui…” (Imam asy-Syaukani, Nailul Authar,
Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000, hal. 1688)
Dalam masalah ini, yaitu hukum
tupai, tidak terdapat dalil yang mengharamkannya baik secara langsung maupun
tidak langsung. Karena itu, hukumnya kembali pada hukum asal benda, yaitu
mubah.
Landak
Landak dalam bahasa Arabnya disebut al-qunfudz.
Mengenai landak (qunfudz) ini, ada khilafiyah. Menurut Imam Abu Hanifah dan
Imam Ahmad, hukumnya haram, berdasarkan sebuah hadis yang mengharamkannya.
Sedang menurut Imam Malik dan Ibnu Abi Laila, hukumnya halal (Imam
ash-Shan’ani, Subulus Salam IV/77).
Namun pendapat yang tepat (sahih), adalah halal
(Imam an- Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab, 8/16). Hal itu karena
tidak ada dalil yang kuat yang mengharamkannya. Karena itu, hukumnya kembali
pada hukum asal benda, yaitu mubah.
Mereka yang mengharamkan landak berhujjah dengan
hadis dari ‘Isa bin Namiilah al-Fazari dari bapaknya, ia berkata,”Saya pernah
di sisi Ibnu Umar lalu dia ditanya hukum makan landak. Lalu Ibnu Umar membaca
ayat,”Qul laa ajidu fiimaa…” (QS 6: 145). Maka berkatalah seorang
kakek (syaikh) di sisi Ibnu Umar,”Aku telah mendengar Abu Hurairah
berkata,”Pernah disebut landak di sisi Nabi SAW maka Nabi
mengatakan,”Sesungguhnya ia (landak) adalah satu keburukan di antara
keburukan-keburukan (khabiits min al-khabaa`its).” Maka berkata Ibnu
Umar,”Jika itu dikatakan Rasulullah SAW, maka hukum landak adalah seperti yang
beliau katakan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud) (Imam asy-Syaukani, Nailul
Authar, hal. 1681; Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/77).
Namun menurut Imam Ibnu Hasjar Al-Asqalani dalam Bulughul
Maram, seperti dikutip Imam ash-Shan’ani,”Sanadnya lemah.” (Subulus
Salam IV/77). Imam ash-Shan’ani menerangkan sebab kelemahannya adalah
identitas kakek yang tidak diketahui (majhuul). (Subulus Salam
IV/77).
Oleh karena itu, hukum landak kembali pada hukum
asal benda, yaitu mubah. Inilah hukum yang diyakini sebagai hukum asal. Sedang
dalil hadis di atas, kesahihannya diperselisihkan di antara para ulama. Jadi,
dalil yang mengharamkan landak masih diragukan. Dalam keadaan demikian,
berlakulah kaidah fikih yang masyhur,”al-yaqiinu laa yuzaalu bi al-syakk.”
(sesuatu yang yakin tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang
diragukan).(Imam as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazha`ir, hal. 37).
Kesimpulan mengenai hukum tupai dan landak,
keduanya adalah halal. Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 3 Maret 2006
Muhammad Shiddiq al-Jawi