Bagaimana Hukum Hukum Sate Kuda
HUKUM SATE KUDA
SOAL :
Di Yogya saya jumpai ada warung
yang menjual sate jaran (sate kuda). Apa hukumnya makan sate jaran tersebut?
(Nt, Yogyakarta).
JAWAB :
Hukum sate kuda tergantung
pada hukum daging kuda. Sedang daging kuda (lahm al-khayl) hukumnya
halal. Di antara para ulama yang menghalalkan daging kuda adalah Zaid bin
Tsabit RA, Imam Asy-Syafi’i, dua sahabat Imam Abu Hanifah (yaitu Imam Abu Yusuf
dan Muhammad bin Al-Hasan), Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ishaq, serta jumhur ulama
salaf dan khalaf (Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/74).
Dalil halalnya daging kuda
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir RA bahwa
Rasulullah SAW pada Perang Khaybar (yauma khaybar) telah melarang
daging-daging keledai jinak dan mengizinkan daging kuda (Lihat Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’,
II/274). Dalil lainnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Asma` binti Abu
Bakar Ash-Shiddiq, dia berkata,"Kami telah menyembelih seekor kuda pada
masa Rasulullah SAW, lalu kami memakannya." (Muttafaq ‘alayh). Dalam
satu riwayat, ada tambahan, "...sedang kami di Madinah." (Subulus
Salam, IV/78). Kedua dalil ini dengan jelas telah menghalalkan makan daging
kuda.
Tetapi, sebagian ulama
mengharamkan makan daging kuda. Mereka adalah Imam Malik, Imam Abu Hanifah,
ulama Al-Hadawiyah, dan pendapat yang masyhur di kalangan para ulama Hanafiyah
(Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, IV/73; Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa
Nihayatul Muqtashid, I/379). Dalilnya adalah hadits dari Khalid bin Al-Walid
RA, bahwa Rasulullah SAW telah melarang makan daging kuda, baghal, keledai dan
setiap binatang buas yang bertaring (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah. Lihat Imam
As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal. 191; Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam,
IV/74).
Pendapat yang mengharamkan
daging kuda ini lemah. Sebab banyak ulama yang tidak menerima hadits Khalid
tersebut dan menganggapnya sebagai hadits dhaif (lemah), sehingga tidak bisa
dijadikan dalil. Imam Al-Bayhaqi mengatakan,"Isnad [hadits] ini mudhtarib
(1), menyalahi riwayat orang-orang yang tsiqat (2)," Imam Al-Bukhari
berkata tentang dua perawi di antara para perawi hadits tersebut, yaitu Abu
Shalih Tsaur bin Yazid dan Sulaiman bin Salim,"Perlu dipertimbangkan
(fiihi nazhar)." Imam Ahmad, Ad-Daruquthni, Al-Khaththabi, Ibnu Abdil
Barr, dan Abdul Haq mendhaifkan hadits ini (Subulus Salam, IV/74). Imam Ahmad
dan lainnya mengatakan,"[Hadits ini] munkar (3)." Sedang Abu Dawud
mengatakan,"[Hadits ini] mansukh (dihapus hukumnya)." (Syaikh
Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, II/274).
Dengan demikian, karena hadits
Khalid bin Al-Walid ini dhaif (lemah), maka hadits tersebut tidak dapat
dijadikan dalil haramnya daging kuda. Namun andaikata saja hadits tersebut
sahih atau hasan, sehingga dapat dijadikan dalil, maka harus dilakukan tarjih antara
hadits Khalid bin Al-Walid ini yang melarang daging kuda dengan hadits-hadits
Jabir dan Asma` yang menghalalkan daging kuda. Dalam hal ini, Imam As-Suyuthi
menilai bahwa hadits Khalid bin Al-Walid adalah hadits hasan, sehingga layak
dijadikan hujjah (dalil) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, hal.
191).
Di antara kaidah tarjih dalam
ilmu ushul fiqih; jika satu hadits melarang (naahi) sedang hadits lainnya
membolehkan (mubiih), maka yang lebih rajih (kuat) adalah hadits yang
membolehkan. Mengapa demikian? Sebab mengamalkan dalil yang melarang, akan
menghilangkan pengamalan dalil lainnya (yang membolehkan) secara keseluruhan.
Jadi di sini hanya diamalkan satu dalil saja (dalil yang melarang). Sedang
mengamalkan dalil yang membolehkan, akan dapat sekaligus mengamalkan dua dalil,
yaitu dalil yang membolehkan dan juga dalil yang melarang. Sebab, tujuan dari
mengamalkan dalil yang membolehkan, adalah menta`wil adanya larangan dengan
mengalihkan maknanya menuju pembolehan (ibahah). Padahal pembolehan itu sudah
jelas ditunjukkan oleh dalil yang membolehkan (mubiih). Maka, hadits yang
membolehkan lebih rajih daripada hadits yang melarang, sebab mengamalkan dua
dalil adalah lebih utama daripada membatalkan salah satunya (i’maal
ad-daliilayni awla min ta’thiili ahadihimaa) (Lihat Syaikh Taqiyuddin
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, I/242-243; Saifuddin Al-Amidi,
Al-Ihkam fi Ushul Al-Ihkam, IV/365-366).
Jika kaidah tarjih ini
diterapkan, maka hadits Jabir (yang membolehkan daging kuda) adalah lebih rajih
(kuat) daripada hadits Khalid (yang melarang daging kuda). Jadi, andaikata saja
hadits Khalid tersebut tidak dhaif, tetapi hasan, seperti penilaian Imam
As-Suyuthi, tetap saja ia merupakan hadits yang marjuuh (tidak kuat), yang
tidak dapat diamalkan. Maka yang diamalkan adalah hadits Jabir yang
menghalalkan daging kuda.
Kesimpulannya, makan daging
kuda hukumnya adalah halal. Inilah pendapat yang rajih menurut pemahaman kami.
Wallahu a’lam.
CATATAN KAKI:
(1). Hadits mudhtarib adalah hadits yang diriwayatkan
dengan redaksi (matan) yang berbeda-beda dan saling bertentangan yang sama
kekuatannya, yakni tidak dapat dikumpulkan (jama’/tawfiiq) dan juga tidak dapat
ditarjih (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 112; Imam
Abul Hasan Al-Jurjani, Inti Sari Ilmu Hadits (Al-Mukhtashar fi Ushul
Al-Hadits), hal. 42; M.M. Azami, MA, Ph.D, Memahami Ilmu Hadits, hal. 115-116;
Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 163).
(2) Tsiqat, adalah perawi yang memiliki sifat
adil (tidak fasiq) dan dhabit (kuat hapalan) (Lihat Imam Abul Hasan Al-Jurjani,
Inti Sari Ilmu Hadits [Al-Mukhtashar fi Ushul Al-Hadits], hal. 24).
(3) Hadits Munkar adalah hadits yang diriwayatkan
oleh perawi yang dhaif, menyalahi apa yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah
(definisi Ibnu Hajar Al-Asqalani). Definisi kedua, hadits munkar adalah hadits
yang dalam isnadnya ada perawi yang banyak kesalahannya [dalam menyampaikan
hadits], atau banyak kelengahannya [dalam menerima hadits], atau jelas
kefasikannya (Lihat Mahmud Ath-Thahhan, Taysir Musthalah Al-Hadits, hal. 95-96;
Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, hal. 158-159).
Yopgyakarta, 26 Agustus 2003
Muhammad Shiddiq Al-Jawi