Bagaimana Hukum Pernikahan Dini
HUKUM PERNIKAHAN
DINI
(KASUS SYEKH PUJI)
Tanya :
Ustadz, bolehkah seorang
laki-laki dewasa menikahi seorang anak perempuan yang masih kecil dan belum
haidh (seperti kasus Syekh Puji)?
Jawab :
Hukumnya
boleh (mubah) secara syar'i dan sah seorang laki-laki dewasa menikahi anak
perempuan yang masih kecil (belum haid). Dalil kebolehannya adalah Al-Qur`an
dan As-Sunnah. Dalil Al-Qur`an adalah firman Allah SWT (artinya) :
"Dan perempuan-perempuan
yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu
ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah tiga bulan; dan
begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid." (QS Ath-Thalaq [65] : 4).
Ibnu Katsir
dalam kitab tafsirnya menyatakan bahwa yang dimaksud "perempuan-perempuan
yang tidak haid" (lam yahidhna), adalah anak-anak perempuan kecil
yang belum mencapai usia haid (ash-shighaar al-la`iy lam yablughna sinna
al-haidh). Ini sesuai dengan sababun nuzul ayat tersebut, ketika
sebagian shahahat bertanya kepada Nabi SAW mengenai masa iddah untuk 3 (tiga)
kelompok perempuan, yaitu : perempuan yang sudah menopause (kibaar),
perempuan yang masih kecil (shighar), dan perempuan yang hamil (uulatul
ahmaal). Jadi, ayat di atas secara manthuq (makna eksplisit)
menunjukkan masa iddah bagi anak perempuan kecil yang belum haid dalam cerai
hidup, yaitu selama tiga bulan.
Imam Suyuthi
dalam kitabnya Al-Iklil fi Istinbath At-Tanzil hal. 212 mengutip Ibnul
Arabi, yang mengatakan,"Diambil pengertian dari ayat itu, bahwa seorang
[wali] boleh menikahkan anak-anak perempuannya yang masih kecil, sebab iddah
adalah cabang daripada nikah."
Jadi, secara
tidak langsung, ayat di atas menunjukkan bolehnya menikahi anak perempuan yang
masih kecil yang belum haid. Penunjukan makna (dalalah) yang demikian
ini dalam ushul fiqih disebut dengan istilah dalalah iqtidha`, yaitu
pengambilan makna yang mau tak mau harus ada atau merupakan keharusan (iqtidha`)
dari makna manthuq (eksplisit), agar makna manthuq tadi bernilai
benar, baik benar secara syar'i (dalam tinjauan hukum) maupun secara akli
(dalam tinjauan akal). Jadi, ketika Allah SWT mengatur masa iddah untuk anak
perempuan yang belum haid, berarti secara tidak langsung Allah SWT telah
membolehkan menikahi anak perempuan yang belum haid itu, meski kebolehan ini
memang tidak disebut secara manthuq (eksplisit) dalam ayat di atas.
Adapun dalil As-Sunnah, adalah hadits dari 'Aisyah RA, dia
berkata :
"Bahwa Nabi SAW telah
menikahi 'A`isyah RA sedang 'A`isyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga
dengannya pada saat 'Aisyah berumur 9 tahun, dan 'Aisyah tinggal bersama Nabi
SAW selama 9 tahun." (HR Bukhari,
hadits no 4738, Maktabah Syamilah). Dalam riwayat lain disebutkan : Nabi
SAW menikahi 'A`isyah RA ketika 'Aisyah berumur 7 tahun [bukan 6 tahun] dan
Nabi SAW berumah tangga dengan 'Aisyah ketika 'Aisyah umurnya 9 tahun. (HR Muslim,
hadits no 2549, Maktabah Syamilah).
Imam Syaukani
dalam kitabnya Nailul Authar (9/480) menyimpulkan dari hadits di atas,
bahwa boleh hukumnya seorang ayah menikahkan anak perempuannya yang belum
baligh (yajuuzu lil abb an yuzawwija ibnatahu qabla al-buluugh).
Berdasarkan
dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa mubah hukumnya seorang laki-laki menikah
dengan anak perempuan kecil yang belum haid. Hukum nikahnya sah dan tidak
haram. Namun syara' hanya menjadikan hukumnya sebatas mubah (boleh), tidak
menjadikannya sebagai sesuatu anjuran atau keutamaan (sunnah/mandub),
apalagi sesuatu keharusan (wajib). Wallahu a'lam.
Yogyakarta, 16 Nopember 2008
Muhammad Shiddiq Al-Jawi