Bagaimana Hukum Pejabat Menerima Hadiah
HUKUM PEJABAT MENERIMA
HADIAH
Tanya :
Ustadz, bolehkah seorang pejabat
menerima hadiah misalnya dari kolega, rekanan, dll?
Jawab :
Haram hukumnya seorang pejabat
menerima hadiah yang terkait dengan tugas atau jabatannya. Pejabat di sini
maksudnya adalah setiap orang yang mempunyai kewenangan memutuskan suatu
kepentingan publik tertentu. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah
Al-Islamiyah, Juz II/334; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah
al-Khilafah, hal. 119).
Banyak dalil-dalil yang
menegaskan haramnya pejabat menerima hadiah. Diriwayatkan dari Jabir bin
Abdullah RA bahwa Nabi SAW bersabda,"Hadiah-hadiah yang diberikan
kepada para pemimpin adalah harta khianat (hadaya al-umara` ghulul)."
(HR Thabrani dalam Al-Awsath no 5126. Dalam Majma' Az-Zawaid Juz
IV/151 Imam Al-Haitsami berkata,"Sanad hadis ini hasan").
Diriwayatkan dari Buraidah RA
bahwa Nabi SAW bersabda,"Barangsiapa yang telah kami angkat untuk
melakukan suatu tugas, lalu dia telah kami gaji, maka apa saja yang diambilnya
selain gaji adalah harta khianat (ghulul)." (HR Abu Dawud no 2554.
Hadis sahih, lihat Nashiruddin Al-Albani, Shahih At-Targhib wa At-Tarhib,
Juz I/191).
Diriwayatkan dari Abu Hamid
As-Sa'idi RA bahwa Nabi SAW pernah mengutus Ibnu Lutbiyah untuk mengumpulkan
zakat dari Bani Sulaim. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ibnu Lutbiyah berkata
kepada Nabi SAW,"Ini zakat yang saya kumpulkan, saya serahkan kepada Anda.
Sedang ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya." Maka Nabi SAW
bersabda,"Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah bapakmu atau
ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar?" (HR
Bukhari no 6464).
Imam Taqiyuddin An-Nabhani
menjelaskan,"Ketiga hadis di atas dengan jelas menunjukkan bahwa hadiah
yang diberikan kepada pejabat yang melaksanakan tugas publik adalah haram, baik
diberikan sebelum dia memutuskan kebijakan tertentu maupun sesudahnya, atau
diberikan karena dia pemegang kebijakan dalam urusan tertentu, atau diberikan
karena dia orang berpengaruh yang dekat dengan pemegang kebijakan. Semuanya
haram." (Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II/338).
Dikecualikan dari keharaman
ini, hadiah kepada pejabat yang diberikan bukan karena tugas atau jabatannya,
misalnya karena hubungan pribadi antara seseorang dengan pejabat sebelum dia
menjadi pejabat, sehingga telah terbiasa memberi hadiah. Hadiah seperti ini
boleh hukumnya. Dalilnya sabda Nabi SAW di atas, "Mengapa kamu tidak
duduk-duduk saja di rumah bapakmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu
jika kamu memang benar?" (HR Bukhari). Dari hadis ini dapat ditarik
pemahaman yang berkebalikan dari yang tersurat (mafhum mukhalafah),
yakni kalau hadiah itu datang kepada seseorang sedang ia duduk-duduk saja di
rumah bapaknya atau ibunya, maka hadiah itu dibolehkan. Artinya, jika hadiah
itu diberikan tidak terkait dengan tugas atau jabatan, hukumnya boleh. Maka
kalau kita sudah biasa memberi hadiah kepada seseorang sebelum dia jadi
pejabat, maka kalau suatu saat dia jadi pejabat, kita tetap dibolehkan
memberinya hadiah. (Taqiyuddin An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah,
Juz II/338). Wallahu a'lam.
Yogyakarta, 1 Nopember 2009
Muhammad Shiddiq Al-Jawi