Bagaimana Dalil Haramnya Poliandri
DALIL HARAMNYA
POLIANDRI
Tanya :
Ustadz, apa dalil
dilarangnya poliandri? Soalnya ada feminis yang tanya saya (Ivan, 08132847323)
Jawab :
Poliandri
adalah pernikahan seorang perempuan dengan lebih dari satu suami (Lihat :
http://en.wikipedia.org/wiki/Polygyny). Hukum poliandri adalah haram
berdasarkan Al-Qur`an dan As-Sunnah.
Dalil Al-Qur`an, adalah firman
Allah SWT :
"dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki."
(QS An-Nisaa` [4] : 24)
Ayat di atas
yang berbunyi "wal muhshanaat min al-nisaa` illa maa malakat aymaanukum"
menunjukkan bahwa salah satu kategori wanita yang haram dinikahi oleh
laki-laki, adalah wanita yang sudah bersuami, yang dalam ayat di atas disebut al-muhshanaat.
Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani berkata dalam an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam (Beirut
: Darul Ummah, 2003) hal. 119 : "Diharamkan menikahi wanita-wanita yang
bersuami. Allah menamakan mereka dengan al-muhshanaat karena mereka
menjaga [ahshana] farji-farji (kemaluan) mereka dengan menikah."
Pendapat
tersebut sejalan dengan pendapat Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa kata muhshanaat
yang dimaksud dalam ayat tersebut bukanlah bermakna wanita merdeka (al-haraa`ir),
tetapi wanita yang bersuami (dzawaatul azwaaj) (Al-Umm, Juz
V/134).
Imam Syafi’i
menafsirkan ayat di atas lebih jauh dengan mengatakan :
"Wanita-wanita yang
bersuami –baik wanita merdeka atau budak— diharamkan atas selain suami-suami
mereka, hingga suami-suami mereka berpisah dengan mereka karena kematian,
cerai, atau fasakh nikah, kecuali as-sabaayaa (yaitu budak-budak perempuan yang
dimiliki karena perang, yang suaminya tidak ikut tertawan bersamanya)… (bi-anna
dzawaat al-azwaaj min al-ahraar wa al-imaa` muharramaatun ‘ala ghairi
azwaajihinna hatta yufaariquhunna azwajuhunna bi-mautin aw furqati thalaaqin,
aw faskhi nikahin illa as-sabaayaa…) (Imam Syafi’i, Ahkamul Qur`an,
Beirut : Darul Kutub al-‘Ilmiyah, 1985, Juz I/184).
Jelaslah
bahwa wanita yang bersuami, haram dinikahi oleh laki-laki lain. Dengan kata
lain, ayat di atas merupakan dalil al-Qur`an atas haramnya poliandri.
Adapun dalil
As-Sunnah, bahwa Nabi SAW telah bersabda :
"Siapa saja wanita yang dinikahkan
oleh dua orang wali, maka [pernikahan yang sah] wanita itu adalah bagi [wali]
yang pertama dari keduanya." (ayyumaa `mra`atin zawwajahaa
waliyaani fa-hiya lil al-awwali minhumaa) (HR Ahmad, dan dinilai
hasan oleh Tirmidzi) (Imam Asy-Syaukani, Nailul Authar, hadits no. 2185;
Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Hadits di
atas secara manthuq (tersurat) menunjukkan bahwa jika dua orang wali
menikahkan seorang wanita dengan dua orang laki-laki secara berurutan, maka
yang dianggap sah adalah akad nikah yang dilakukan oleh wali yang pertama (Imam
Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/123).
Berdasarkan dalalatul
iqtidha`1), hadits tersebut juga menunjukkan bahwa tidaklah sah pernikahan
seorang wanita kecuali dengan satu orang suami saja.
Makna (dalalah)
ini –yakni tidak sahnya pernikahan seorang wanita kecuali dengan satu suami
saja – merupakan makna yang dituntut (iqtidha`) dari manthuq hadits,
agar makna manthuq itu benar secara syara’. Maka kami katakan bahwa dalalatul
iqtidha` hadits di atas menunjukkan haramnya poliandri.
Dengan
demikian, jelaslah bahwa poliandri haram hukumnya atas wanita muslimah
berdasarkan dalil-dalil al-Qur`an dan As-Sunnah yang telah kami sebutkan di
atas. Wallahu a’lam
1) Dalalatul iqtidha`
adalah makna yang tidak terucap dalam lafal teks ayat atau hadits, namun
merupakan keharusan makna yang mesti ada agar makna-makna lafal itu bernilai
benar, baik bernilai benar karena tuntutan akal maupun tuntutan syara’.
Pembahasan dalalatul iqtidha` lebih mendalam dan contoh-contohnya lihat
kitab-kitab ushul fiqih (Imam Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 178;
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilmu Ushul Al-Fiqh, hal. 150; Syaikh al-Hudhari
Bik, Ushul al-Fiqh, hal. 121; Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh
al-Islami, Juz I/355; Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah
al-Islamiyah, Juz III/177; ‘Atha ibn Khalil, Taysir al-Wushul ilaa
al-Ushul, hal. 161).
Yogyakarta, 7 Pebruari 2007
Muhammad Shiddiq al-Jawi