Euthanasia Menurut Hukum Islam
EUTHANASIA MENURUT HUKUM
ISLAM
Pengertian
Euthanasia
Euthanasia
secara bahasa berasal dari bahasa Yunani eu yang berarti “baik”, dan thanatos,
yang berarti “kematian” (Utomo, 2003:177). Dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Menurut istilah kedokteran,
euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami
seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian
seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya
(Hasan, 1995:145).
Dalam
praktik kedokteran, dikenal dua macam euthanasia, yaitu euthanasia aktif dan
euthanasia pasif. Euthanasia aktif adalah tindakan dokter mempercepat kematian
pasien dengan memberikan suntikan ke dalam tubuh pasien tersebut. Suntikan
diberikan pada saat keadaan penyakit pasien sudah sangat parah atau sudah
sampai pada stadium akhir, yang menurut perhitungan medis sudah tidak mungkin
lagi bisa sembuh atau bertahan lama. Alasan yang biasanya dikemukakan dokter
adalah bahwa pengobatan yang diberikan hanya akan memperpanjang penderitaan
pasien serta tidak akan mengurangi sakit yang memang sudah parah (Utomo,
2003:176).
Contoh
euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa
sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini,
dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya
obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa
sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Adapun
euthanasia pasif, adalah tindakan dokter menghentikan pengobatan pasien yang
menderita sakit keras, yang secara medis sudah tidak mungkin lagi dapat
disembuhkan. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien.
Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang
terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi,
sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif
lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu
tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian
medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah
ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana
pengobatan yang sangat tinggi (Utomo, 2003:176).
Contoh
euthanasia pasif, misalkan penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang
sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada otak yang tidak ada harapan
untuk sembuh. Atau, orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika
tidak diobati maka dapat mematikan penderita. Dalam kondisi demikian, jika
pengobatan terhadapnya dihentikan, akan dapat mempercepat kematiannya (Utomo,
2003:177).
Menurut
Deklarasi Lisabon 1981, euthanasia dari sudut kemanusiaan dibenarkan dan
merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit yang tidak dapat disembuhkan.
Namun dalam praktiknya dokter tidak mudah melakukan euthanasia, karena ada dua
kendala. Pertama, dokter terikat dengan kode etik kedokteran bahwa ia dituntut
membantu meringankan penderitaan pasien Tapi di sisi lain, dokter menghilangkan
nyawa orang lain yang berarti melanggar kode etik kedokteran itu sendiri.
Kedua, tindakan menghilangkan nyawa orang lain merupakan tindak pidana di
negara mana pun. (Utomo, 2003:178).
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah
sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat.
Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun
euthanasia pasif.
A.
Euthanasia Aktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori
pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk
meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan
pasien sendiri atau keluarganya.
Dalil-dalil dalam masalah ini
sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik
pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah
SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min
membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak
sengaja)...” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu,
sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah
bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu
termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan
tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.
Dokter yang melakukan euthanasia
aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana
Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan
Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh
(waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak
dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat
(tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan. Firman Allah SWT :
“Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS
Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja
adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting,
berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar
dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah
1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000
dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak)
(Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan
euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan
pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya
melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya
yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian
pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari
ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah
SAW bersabda,”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik
kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang
menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah
yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan
dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak
memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan
pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan
buatan dari tubuh pasien.
Bagaimanakah
hukumnya menurut Syariah Islam?
Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadaawi) itu sendiri. Yakni, apakah berobat itu wajib,
mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut
jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib.
Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama
Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
(Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68)
hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits,
di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di
sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang
tegas (wajib), tapi tuntutan yag tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla
setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah
kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan
Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah
(al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan
menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi
al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah
sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di
atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu
indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam
hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat
wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang
perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku
terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat kambuh].
Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau,
kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada
Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan
bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat
ayanku kambuh], maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka
Nabi SAW lalu berdoa untuknya. (HR Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan
dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir
ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah,
bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub),
bukan wajib (Zallum, 1998:69).
Dengan demikian, jelaslah pengobatan
atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu
bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak
mencabutnya dari pasien yag telah kritis keadaannya?
Abdul Qadim Zallum (1998:69)
mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati
organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti
menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya
penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang
hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak
memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ
vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan
kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak
berfungsi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka
hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk
aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien
–setelah matinya/rusaknya organ otak—hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi
dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter
tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab
mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo, 2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab
dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi
adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien
tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak
penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri) (Audah, 1992 : 522-523).
Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
- Al-Maliki, Abdurrahman. 1990.
Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
- An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953.
Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds : Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
- Audah, Abdul Qadir. 1992.
At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
- Az-Zuhaili, Wahbah. 1996.
Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak). Damaskus : Darul
Fikr.
- Hasan, M.Ali. 1995. Masail
Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam. Jakarta
: RajaGrafindo Persada.
- Utomo, Setiawan Budi. 2003.
Fiqih Aktual Jawaban Tuntas Masalah Kontemporer. Jakarta : Gema Insani
Press.
- Zallum, Abdul Qadim. 1997. Hukm
Asy-Syar’i fi Al-Istinsakh, Naql A’dha`, Al-Ijhadh, Athfaal Al-Anabib,
Ajhizatul In’asy At-Tibbiyah, al-Hayah wa al-Maut. Beirut : Darul Ummah.
- Zallum, Abdul Qadim. 1998.
Beberapa Problem Kontemporer dalam Pandangan Islam : Kloning,
Transplantasi Organ Tubuh, Abortus, Bayi Tabung, Penggunaan Organ Tubuh
Buatan, Definisi Hidup dan Mati. Bangil : Al Izzah.
- Zuhdi, Masjfuk. 1993. Masail
Fiqhiyah. Cetakan VI. Jakarta : CV. Haji Masagung
4 September 2005
Muhammad Shiddiq Al
Jawi