Bagaimana Hukum Wanita Berziarah Kubur
SOAL :
Apa hukumnya wanita berziarah
kubur? (Hartini, Yogyakarta).
JAWAB :
Wanita melakukan ziarah kubur hukumnya adalah makruh, bukan haram (Lihat As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142; Zakariya Al-Anshari, Fathul Wahhab, I/100; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’, I/170). Jadi, wanita yang berziarah kubur tidak berdosa, tetapi sebaiknya wanita tidak melakukannya.
Dalilnya adalah hadits Nabi
SAW riwayat Imam Al-Bukhari dan Muslim dari Anas RA bahwa Nabi SAW pernah
melintasi seorang wanita yang sedang menangis di dekat kubur anaknya. Lalu Nabi
SAW berkata kepada wanita itu,"Bertakwalah kamu kepada Allah, dan
bersabarlah!" (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 143, As-Sayyid
Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142).
Perkataan Nabi SAW "Bertakwalah
kamu kepada Allah, dan bersabarlah!" menunjukkan bahwa wanita yang
menangis di dekat kubur anaknya itu tidak bertakwa dan tidak bersabar. Padahal
wanita itu menjadi tak bertakwa dan tak bersabar, adalah karena menziarahi
kubur anaknya. Berarti, hadits itu menunjukan adanya larangan (nahi)
bagi wanita untuk melakukan ziarah kubur.
Hanya saja, larangan tersebut
bukanlah larangan yang tegas/pasti (jazim) –yang menunjukkan hukum
haram— melainkan larangan yang tidak tegas/pasti (ghayr jazim), yang
menunjukkan hukum makruh. Hal ini bisa diketahui dari beberapa qarinah
(indikasi) yang ada. Di antaranya, Nabi SAW --dalam hadits Anas RA tersebut--
tidak memerintahkan secara tegas kepada wanita tersebut untuk segera
meninggalkan kubur anaknya. Kalau sekiranya ziarah kubur hukumnya haram,
niscaya Nabi SAW tidak akan mencukupkan diri hanya dengan menyuruh wanita itu
bertakwa dan bersabar, tetapi juga akan memerintahkan wanita itu untuk segera
meninggalkan kubur anaknya. Kenyataannya Nabi SAW tidak memerintahkan wanita
itu meninggalkan kubur anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa larangan Nabi SAW
kepada wanita untuk berziarah kubur, bukanlah larangan haram, melainkan
larangan makruh (Lihat As-Sayyid Al-Bakri, I’anah Ath-Thalibin, II/142).
Selain itu, masih ada qarinah-qarinah
lain yang menunjukkan bahwa larangan ziarah kubur bagi wanita bukanlah larangan
haram, melainkan larangan makruh. Imam Muslim meriwayatkan, bahwa ‘A`isyah RA
bertanya kepada Nabi SAW,"Bagaimana aku mengucapkan [doa], wahai
Rasulullah, jika aku berziarah kubur? Nabi SAW berkata,"Ucapkanlah
‘Assalamu ‘ala ahlid diyaari minal mu`miniin wal muslimiin wa yarhamullaahul
mustaqdimiina wal musta`khiriina, wa innaa in syaa`allaahu bikum laahiquun."
(Arti : Semoga keselamatan atas para penghuni kubur dari orang-orang mu`min dan
muslim. Dan semoga Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dan yang
terkemudian. Dan kami insya Allah akan segera menyusul kalian).
Sunnah hukumnya membaca doa
ini –dan semisalnya-- pada saat kita melakukan ziarah kubur. (Lihat Imam
An-Nawawi, Al-Adzkar, hal. 142; Syaikh Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna’,
I/170, Imam Ash-Shan’ani, Subulus Salam, II/114; Imam An-Nawawi, Al-Adzkar,
hal. 142).
Hadits ini menunjukkan, bahwa Rasulullah SAW membolehkan (men-taqrir) wanita untuk berziarah kubur. Sebab jika tidak boleh, niscaya Nabi SAW tidak akan mengajarkan doa tersebut kepada ‘A`isyah RA dan bahkan akan melarangnya untuk berziarah kubur. Dari sinilah kita dapat memahami mengapa sebagian sahabat Rasulullah SAW yang wanita melakukan ziarah kubur, sebab hukumnya memang tidak haram. ‘A`isyah RA sendiri pernah menziarahi kubur saudara laki-lakinya, yakni Abdurrahman bin Abi Bakar, yang wafat dan dimakamkan di Makkah (Subulus Salam, Juz II/114). Fatimah RA juga diriwayatkan menziarahi kubur pamannya, yaitu Hamzah bin Abdil Muthallib, pada setiap hari Jumat, lalu Fatimah berdoa dan menangis di sisi kubur pamannya (HR Al-Hakim, dari ‘Ali bin Al-Husain RA, Subulus Salam, II/115).
Jika kita gabungkan berbagai qarinah
ini dengan larangan (nahi) dari hadits Nabi SAW untuk menziarahi kubur
bagi wanita (hadits Anas RA), jelaslah bahwa larangan yang ada bukanlah
larangan tegas (jazim), melainkan larangan yang tidak tegas (ghayr
jazim). Maka, ziarah kubur bagi wanita hukumnya adalah makruh, bukan haram.
Perlu kami tambahkan sedikit
keterangan, bahwa ada sebagian ulama yang mengharamkan wanita melakukan ziarah
kubur. Bahkan mereka menganggap perbuatan itu sebagai dosa besar. Demikianlah
pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin (Lihat Abdur Rahman bin
Abdullah Al-Ghaits, Bimbingan Lengkap Penyelenggaraan Jenazah [Al-Wijaazah
fi Tajhiizil Janaazah], Solo : At-Tibyan, 2003, hal. 248).
Dalil pendapat ini adalah
hadits dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW melaknat para wanita yang
berziarah kubur [Arab : la’ana rasulullahi zaa`i`raat al-qubuur] (HR.
At-Tirmidzi, dan dinilai sahih oleh Ibnu Hibban, Lihat Imam Ash-Shan’ani, Subulus
Salam, II/114; HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Hisan bin Tsabit
RA, hadits ini dinilai shahih oleh As-Suyuthi, lihat As-Suyuthi, Al-Jami’
Ash-Shaghir, hal. 124).
Menurut pemahaman kami,
pendapat ini lemah. Sebab, larangan ziarah kubur bagi wanita dalam hadits Abu
Hurairah tersebut, telah dihapuskan (di-nasakh) oleh Nabi SAW. Hal ini
bisa diketahui dari hadits riwayat Imam Muslim dari Buraidah bin Al-Hashib
Al-Aslami RA, dia berkata,"Telah berkata Rasulullah SAW,’Dahulu aku
pernah melarang kalian berziarah kubur. Maka [sekarang] berziarahlah
kalian." (Subulus Salam, II/114). Hadits ini dengan jelas
menunjukkan bahwa sebelumnya Nabi SAW memang mengharamkan ziarah kubur. Namun,
kemudian Nabi SAW memerintahkan untuk ziarah kubur. Jadi, hadits Buraidah ini
menghapuskan (me-nasakh) larangan Nabi SAW untuk berziarah kubur
sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah di atas. Ini diperkuat lagi dengan hadits
lain, dari Abdullah bin Abi Malikah RA, bahwa ‘A`isyah pada suatu hari datang
dari kuburan, maka saya (Abdullah bin Abi Malikah RA) bertanya kepadanya,"Wahai
Ummul Mu`minin, dari mana Anda datang?" ‘A`isyah menjawab,"Dari
kuburan saudaraku, Abdurrahman." Saya bertanya lagi kepadanya,"Bukankah
Rasulullah telah melarang ziarah kubur?" ‘A`isyah menjawab,"Memang,
dahulu Rasulullah melarang ziarah kubur, tapi kemudian beliau memerintahkan
menziarahi kubur." (HR. Al-Hakim dan Ibnu Hibban. Lihat Ibrahim
Muhammad Jamal, Fiqih Wanita (Fiqh Al-Mar`ah Al-Muslimah), Alih Bahasa
Anshori Umar Sitanggal, Semarang : Asy-Syifa`, 1986, hal. 177-178).
Dengan demikian, berdasarkan
hadits terakhir ini, jelaslah bahwa larangan ziarah kubur (termasuk ziarah
kubur bagi wanita) hukumnya telah dinasakh dan tidak berlaku lagi (Al-Amidi, Al-Ihkam
fi Ushul Al-Ahkam, III/99). Maka dari itu, ziarah kubur sekarang hukumnya
tidaklah haram, namun diperintahkan Nabi SAW.
Maka dari itu, ziarah kubur
hukumnya adalah mandub (sunnah) menurut syara’. Hukum ini adalah bagi para
laki-laki. Adapun bagi para wanita, hukumnya adalah makruh, seperti telah
diterangkan sebelumnya. Hukum makruh itu artinya lebih baik ditinggalkan
daripada dikerjakan, meskipun jika dikerjakan tidak berdosa. Jadi, lebih baik
wanita tidak melakukan ziarah kubur. Itulah yang lebih baik baginya. Wallahu
a’lam
Yogyakarta, 22 Agustus 2003
Muhammad Shiddiq Al-Jawi