Apakah Mahram, Istri Dengan Anak Laki-laki Dari Kakak Perempuan

 Apakah Mahram, Istri Dengan Anak Laki-laki Dari Kakak Perempuan

Apakah Mahram, Istri Dengan Anak Laki-laki Dari Kakak Perempuan

Tanya :

Ustadz, saya dengan isteri sekarang tinggal serumah dengan kakak perempuan saya, seorang janda yang suaminya sudah meninggal. Kakak perempuan saya punya anak laki-laki. Pertanyaannya : apakah isteri saya kalau di dalam rumah harus menutup aurat (berkerudung) jika bersama anak laki-laki itu? (Ja’far, Medan).

Jawab :
Saudaraku Ja’far,
Anak laki-laki dari kakak perempuan Anda itu, bukanlah mahram bagi isteri Anda. Hal itu dikarenakan di antara keduanya tidak ada sebab-sebab kemahraman yang tiga. Yaitu :  Pertama, mahram karena nasab (an-nasab, al-qarabah), seperti ibu dan anak laki-lakinya.  Kedua, mahram karena pernikahan (al-mushaharah), seperti seorang laki-laki dengan ibu isterinya (ibu mertuanya). Ketiga,  mahram karena sepersusuan (radha`), seperti seorang laki-laki dan seorang perempuan yang pernah menyusu kepada perempuan yang sama.

Memang anak laki-laki itu memanggil isteri Anda dengan sebutan “bibi” (atau yang semakna). Tapi “bibi” yang menjadi mahram adalah bibi asli, yaitu saudara perempuan ayah (Arab : ‘ammah), atau saudara perempuan ibu (Arab : khaalah), baik bibi itu saudara kandung dari ayah/ibu maupun bukan saudara kandung (yaitu seayah saja atau seibu saja, dengan ayah/ibu). (Lihat Abdurrahman Al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib al-Arba’ah, [Beirut : Darul Fikr], 1996, Juz IV/56; M. Masykur Khoir, Risalah Mahrom dan Wali Nikah, [Kediri : Duta Karya Mandiri], 2005, hal. 69-70).  

 Bibi asli inilah yang dalam Al-Qur`an disebut dengan istilah khaalat (saudara-saudara perempuan ibu) dan ‘ammaat (saudara-saudara perempuan ayah). Mereka inilah yang menjadi mahram atas seorang laki-laki sehingga laki-laki itu diharamkan untuk menikahinya. Firman Allah SWT :

حرمت عليكم أمهاتكم وبناتكم وأخواتكم وعماتكم وخالاتكم وبنات الأخ وبنات الأخت


“Telah diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan…” (QS An-Nsaa` [4] : 23).

Yang dimaksud dengan ‘ammaat pada ayat di atas akhowaat al-ab (saudara-saudara perempuan ayah). Sedang yang dimaksud dengan ‘khaalat adalah akhowaat al-umm (saudara-saudara perempuan ibu). (Lihat Imam Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi al-Islam, hal. 59;  Syaikh Abdurrahman  bin Abdurahman Syamilah Al-Ahdal, Al-Ankihah Al-Fasidah Dirasah Fiqhiyah Muqaranah, hal.54).

Dengan demikian, sebutan “bibi” yang menjadi mahram, hanyalah “bibi asli”  yaitu saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu, bukan yang lain. Mereka itulah yang menjadi mahram berdasarkan manthuq (makna eksplisit) dari ayat di atas.
Karena itu, isteri paman dari seorang laki-laki, seperti pada kasus yang ditanyakan di atas, sesungguhnya bukan mahram bagi laki-laki itu. Memang ia diharamkan menikahi isteri pamannya itu. Tapi keharamannya bukan karena wanita itu adalah mahramnya, melainkan karena wanita itu masih terikat akad nikah dengan pamannya. Andaikata wanita itu sudah bercerai dengan pamannya, halal bagi laki-laki itu menikahi mantan isteri pamannya.

Saudaraku Ja’far,
Berdasarkan seluruh uraian di atas, jelaslah bahwa anak laki-laki dari kakak perempuan Anda, bukanlah mahram bagi isteri Anda. Maka berlakulah segala hukum syara’ yang menyangkut interaksi seorang perempuan dengan laki-laki ajnabi (asing / bukan mahram). Antara lain :
Pertama, wajib hukumnya atas perempuan itu menutup aurat di hadapan laki-laki itu.
Kedua, haram hukumnya atas perempuan itu ber-khalwat (berdua-duaan dalam keadaan sepi) dengan laki-laki tadi.
Ketiga, haram hukumnya atas perempuan itu melakukan safar (perjalanan) ditemani laki-laki tersebut.
Keempat, jika perempuan itu menyentuh laki-laki itu atau sebaliknya, batallah wudhunya. Dan seterusnya. Di sini sengaja tidak saya uraikan dalil-dalilnya untuk empat contoh hukum syara’ di atas, karena dalil-dalilnya dapat dicari dengan mudah di kitab-kitab hadits atau fiqih. Carilah sendiri. Wallahu a’lam

Yogyakarta, 12 Januari 2008

Muhammad Shiddiq Al-Jawi

To Top