Wali Tidak Mau
Menikahkan, Bolehkan Menggunakan Wali Hakim
WALI TIDAK MAU
MENIKAHKAN, BOLEHKAH NIKAH DENGAN WALI HAKIM?
Tanya :
Ada seorang perempuan yang ingin menikah dengan seorang
laki-laki, tetapi tidak disetujui oleh keluarganya dengan berbagai alasan,
misalnya calon suaminya orang miskin, wajah calon suaminya tidak
"cakep", dll. Dia terus berusaha melobi keluarganya agar dinikahkan
tapi keluarganya tetap tidak mau menikahkan. Pertanyaannya :
1. Bolehkah perempuan tersebut menikah dengan wali hakim, mengingat
usahanya untuk mendapatkan wali nikah tidak berhasil?
2. Apa itu wali hakim? Bagaimana mendapatkan wali hakim itu? (RN, Jakarta)
Jawab :
Jika wali
tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah alasan syar’i atau
alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan oleh hukum
syara’, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain dan lamaran
ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir (misal beragama
Kriten/Katholik), atau orang fasik (misalnya pezina dan suka mabok), atau
mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya.
Jika wali menolak menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti
ini, maka wali wajib ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain
(wali hakim) (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka
Amani, 1989, hal. 90-91).
Jika seorang
perempuan memaksakan diri untuk menikah dalam kondisi seperti ini, maka akad
nikahnya tidak sah alias batil, meskipun dia dinikahkan oleh wali hakim. Sebab
hak kewaliannya sesungguhnya tetap berada di tangan wali perempuan tersebut,
tidak berpindah kepada wali hakim. Jadi perempuan itu sama saja dengan menikah
tanpa wali, maka nikahnya batil. Sabda Rasulullah SAW,"Tidak [sah] nikah
kecuali dengan wali." (HR. Ahmad; Subulus Salam, III/117).
Namun
adakalanya wali menolak menikahkan dengan alasan yang tidak syar’i, yaitu alasan
yang tidak dibenarkan hukum syara’. Misalnya calon suaminya bukan dari suku
yang sama, orang miskin, bukan sarjana, atau wajah tidak rupawan, dan
sebagainya. Ini adalah alasan-alasan yang tidak ada dasarnya dalam pandangan
syariah, maka tidak dianggap alasan syar’i. Jika wali tidak mau menikahkan anak
gadisnya dengan alasan yang tidak syar’i seperti ini, maka wali tersebut
disebut wali ‘adhol. Makna ‘adhol, kata Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, adalah
menghalangi seorang perempuan untuk menikahkannya jika perempuan itu telah
menuntut nikah. Perbuatan ini adalah haram dan pelakunya (wali) adalah orang
fasik (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Ijtima’i fi Al-Islam, hal.
116). Firman Allah SWT (artinya): "…maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat
kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf." (TQS Al-Baqarah :
232)
Jika wali
tidak mau menikahkan dalam kondisi seperti ini, maka hak kewaliannya berpindah
kepada wali hakim (Imam Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, II/37; Abdurrahman
Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah, IV/33). Hal ini
berdasarkan sabda Rasulullah SAW,"…jika mereka [wali]
berselisih/bertengkar [tidak mau menikahkan], maka penguasa (as-sulthan) adalah
wali bagi orang [perempuan] yang tidak punya wali." (Arab : fa in
isytajaruu fa as-sulthaanu waliyyu man laa waliyya lahaa) (HR. Al-Arba’ah,
kecuali An-Nasa`i. Hadits ini dinilai shahih oleh Ibnu ‘Awanah, Ibnu Hibban,
dan Al-Hakim, Subulus Salam, III/118).
Yang dimaksud
dengan wali hakim, adalah wali dari penguasa, yang dalam hadits di atas disebut
dengan as-sulthan. Imam Ash-Shan’ani dalam kitabnya Subulus Salam II/118
menjelaskan, bahwa pengertian as-sulthan dalam hadits tersebut, adalah orang
yang memegang kekuasaan (penguasa), baik ia zalim atau adil (Arab : man
ilayhi al-amru, jaa`iran kaana aw ‘aadilan). Jadi, pengertian as-sulthaan
di sini dipahami dalam pengertiannya secara umum, yaitu wali dari setiap
penguasa, baik penguasa itu zalim atau adil. (Bukan hanya dari penguasa yang
adil). Maka dari itu, penguasa saat ini walaupun zalim, karena tidak
menjalankan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara,
adalah sah menjadi wali hakim, selama tetap menjalankan hukum-hukum syara’
dalam urusan pernikahan. Demikianlah pemahaman kami, wallahu a’lam.
Untuk
mendapatkan wali hakim, datanglah ke Kepala KUA Kecamatan tempat calon mempelai
perempuan tinggal. Hal ini karena di Indonesia sejak 14 Januari 1952
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1952, wali hakim dijalankan oleh
Kepala KUA Kecamatan, yang dilaksanakan oleh para Naib yang menjalankan
pekerjaan pencatatan nikah dalam wilayah masing-masing. Peraturan ini berlaku
untuk wilayah Jawa dan Madura. Sedang untuk luar Jawa dan Madura, diatur dengan
Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 1952 dan mulai berlaku mulai tanggal 1 Juli
1952 (Lihat HSA Alhamdani, Risalah Nikah, Jakarta : Pustaka Amani, 1989,
hal. 91). [ ]
Yogyakarta, 30 Juli 2010
Muhammad Shiddiq
Al-Jawi