Sakit Radang Prostat Tidak Kuat Puasa, Bagaimana Puasanya
SAKIT RADANG
PROSTAT TAK KUAT PUASA,
BAGAIMANA
PUASANYA?
SOAL:
Seorang pemuda usia produktif
diberi penyakit radang-prostat oleh Allah semenjak Sya'ban 1424 H (setahun yang
lalu), sehingga dalam kesehariannya ia terpaksa harus sering sekali kencing.
Banyak dokter dan juga obat yang sudah ia coba, namun Allah belum juga memberinya
jalan kesembuhan. Salah satu dampak penyakit ini adalah memaksa sang pemuda
untuk sering minum. Jika ia memaksa menjarangkan minum, bisa mengakibatkan
kerusakan kelenjar prostat yang lebih parah dan juga ginjal. Pada awal bulan
Ramadlan tahun lalu ia pernah mencoba untuk berpuasa, akibatnya kesakitan luar
biasa menimpanya pada organ bagian kemih. Dan setelah itu akhirnya ia
memutuskan untuk tidak berpuasa. Hingga saat ini sang penyakit masih juga
melekat pada dirinya, yang akibatnya upaya qadla puasa Ramadlan yang lalupun
belum juga terealisir.Sedangkan kita tahu bahwa Ramadlan 1425 H sudah akan tiba
sebentar lagi.
Pertanyaan saya.
1. Apakah statusnya disamakan dengan 'orang2 yang berat menjalankannya' seperti
dalam QS 2:184, sehingga kewajibannya adalah membayar fidyah berupa memberi
makan satu kali (atau tiga kali?) orang miskin perhari?
2. Bisakah fidyah ini diberikan dalam bentuk uang dan digabung untuk hutang 30
hari?
3. Ia sendiri kesulitan keuangan dalam kesehariannya, hutangpun banyak. Apakah
ia harus berhutang dulu untuk membayar fidyahnya ataukah boleh menunda
pembayaran fidyah hingga ia mampu? (Hamba Allah, di bumi Allah. XXX@feastmail.com This email address is
being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it ).
JAWAB :
Kami turut merasa prihatin
terhadap musibah yang menimpa pemuda tersebut. Tak ada nasihat kami yang
terbaik baginya, kecuali nasihat kesabaran. Bersabarlah, wahai saudaraku!
Banyaklah berdoa,”Allahuma ajirnii fii mushiibatii wa`khluflii khairan minha”
(Ya Allah berilah aku pahala pada musibahku ini dan gantilah dengan kebaikan
karenanya). Semoga pemuda itu tetap bersabar atas keadaannya itu, dan terus
mengupayakan kesembuhan. Berobatlah, karena setiap kali Allah menciptakan
penyakit, Allah menciptakan pula obatnya. Hanya penyakit tua, yang pasti tak
ada obatnya. Dan tidak ada kesembuhan, kecuali atas seizin Allah Azza wa Jalla
jua.
Adapun jawaban terhadap pertanyaan di atas adalah sebagai berikut :
1.Wajib Tidaknya Puasa Atas
Orang Sakit
Mengenai kewajiban puasa atas orang sakit (al-mariidh) para fuqaha merincinya
dilihat dari sifat sakitnya, yaitu apakah sakitnya dapat diharap sembuh (yurjaa
bur`uhu) atau tidak bisa diharap sembuh (laa yurjaa bur`uhu).
Jika seseorang menderita
penyakit yang dapat diharap kesembuhannya, maka dia boleh berbuka (tidak
berpuasa Ramadhan). Demikianlah kesepakatan (ittifaq) seluruh fuqaha.
(Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Taqiyuddin
Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213; Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa Menurut Empat
Mazhab, hal. 95). Jika dia menduga kuat bahwa ia akan binasa (mati) atau
mengalami bahaya (madharat) yang besar karena berpuasa, misalnya ia khawatir
salah satu inderanya/organnya akan hilang /rusak, maka semua ulama pun sepakat,
wajib atasnya berbuka dan haram dia berpuasa (Abdurrahman Al-Jaziri, Puasa
Menurut Empat Mazhab, hal. 95; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/213).
Jadi, puasa Ramadhan tidak wajib atasnya. Jika dia telah sembuh dari penyakitnya,
wajib dia mengqadha` puasanya pada hari-hari yang lain (Lihat Ali Raghib,
Ahkamush Shalah, hal. 118; Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, I/178). Firman Allah SWT
:
“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah atasnya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS Al-Baqarah :
184)
Jika seseorang menderita
penyakit yang tidak dapat diharap sembuh, maka tidak ada kewajiban puasa
atasnya. Tapi dia wajib membayar fidyah kepada orang miskin (Lihat Asy-Syirazi,
Al-Muhadzdzab, I/178; As-Sayyid Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241;
Ad-Dimasyqi, Rahmatul Ummah fi Ikhtilaf Al-A`immah, hal. 66; Ali Raghib,
Ahkamush Shalah, hal. 118;). Dalilnya adalah firman Allah SWT :
“Dan wajib atas orang-orang yang berat
menjalankannya (jika mereka berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan
seorang miskin.” (QS Al-Baqarah : 184)
“Dan Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj : 78)
Demikianlah hukum syara’
tentang puasa bagi orang yang sakit. Jika kita hendak menerapkan hukum syara’
ini kepada pemuda tersebut yang dicoba oleh Allah SWT dengan penyakit radang
prostat, maka lihatlah dulu penyakitnya. Dengan kata lain, harus dilihat dulu
manath-nya (Manath adalah fakta yang akan menjadi objek penerapan hukum
syara’). Apakah penyakitnya itu masih bisa diharapkan untuk sembuh atau tidak?
Jawaban untuk penelaahan manath ini berarti tergantung kepada ahlinya, yaitu
para dokter yang ahli masalah ini. Maka, hendaklah pemuda itu bertanya kepada
dokter mengenai hal ini, lalu kalau sudah jelas duduk masalahnya, terapkanlah
hukum yang ada sesuai dengan faktanya. (Kami berharap dan berdoa, pemuda
tersebut tidak membayar fidyah, tapi cukup mengqadha` saja).
2.Membayar Fidyah
Sebelumnya perlu kami ingatkan, membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang
sakit yang sakitnya tidak dapat diharapkan sembuhnya. Atau bagi orang tua renta
yang sudah tidak kuasa lagi berpuasa. Adapun yang sakitnya masih ada harapan
untuk sembuh, maka kewajiban yang ada adalah qadha`, bukan membayar fidyah.
Membayar fidyah artinya memberi makan orang miskin sebanyak satu mud untuk satu
hari tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Jika tidak berpuasa sehari, membayar
fidyah satu mud. Jika dua hari, fidyahnya dua mud, dan seterusnya. Ini
kewajiban bagi orang yang sakit yang tidak dapat diharapkan sembuhnya, juga
bagi orang tua renta yang sudah tidak mampu lagi berpuasa (Lihat QS Al-Baqarah
: 184).
Mud adalah ukuran takaran (bukan berat) yang setara dengan takaran 544 gram
gandum (al-qamhu). (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal.
62). Menurut jumhur ulama, fidyah dibayarkan dalam bentuk makanan pokok yang
dominan pada suatu negeri (ghaalibu quut a-balad). (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Jadi untuk Indonesia, fidyah dibayarkan dalam
bentuk beras, yang takarannya satu mud. Untuk hati-hati, berikan dalam berat 1
kg beras.
Apakah fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang? Menurut ulama Hanafiyah,
boleh dibayarkan dengan nilainya (qiimatuhu), yaitu dalam bentuk uang yang
senilai.
Sedang menurut ulama jumhur
(Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah), tidak boleh dibayar dengan nilainya (Wahbah
Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687). Kami cenderung kepada
pendapat jumhur, sebab membayar fidyah dengan nilainya tidak didukung dengan
dalil. Adapun dalil yang ada (QS 2 : 184), secara jelas menyebutkan pembayaran
fidyah dalam bentuk makanan, yaitu firman-Nya yang berbunyi “wa ‘ala lladzina
yuthiiqunahu fidyatun tha’aamu miskin.” . Artinya, fidyah itu adalah dengan
memberi makan (tha’am). Membayar fidyah dalam bentuk makanan itulah yang
diamalkan oleh para shahabat. Dalam kitab Al-Muhadzdzab I/178, Imam Asy-Syirazi
meriwayatkan perkataan Ibnu Abbas RA, “Barangsiapa yang menjadi orang tua renta
lalu dia tidak mampu berpuasa Ramadhan, maka wajiblah untuk setiap-tiap hari
[dia tidak berpuasa] satu mud gandum.” Ibnu Umar RA berkata, “Jika seseorang
tidak mampu berpuasa, hendaklah ia memberi makan setiap harinya satu mud.”
Diriwayatkan dari Anas RA, bahwa beliau tidak mampu berpuasa setahun sebelum
wafatnya, maka beliau berbuka dan memberi makan. (Lihat Ali Raghib, Ahkamush
Shalah, hal. 119).
3. Jika Tidak Mampu Membayar Fidyah
Sekali lagi perlu diingat, kewajiban fidyah ini untuk orang sakit yang tidak
bisa diharap lagi sembuhnya. Tidak berlaku untuk yang sakitnya masih ada
harapan untuk disembuhkan.
Seseorang yang sakit dengan penyakit yang tidak
ada harapan sembuh, atau orang tua renta yang tidak kuat lagi berpuasa, maka
dia wajib membayar fidyah (QS Al-Baqarah : 184). Lalu bagaimana kalau untuk
membayar fidyah pun dia juga tidak mampu, misalkan karena dia adalah orang
faqir atau miskin?
Membayar fidyah adalah kewajiban bagi orang yang
mampu (muusir). Kemampuan ini diukur pada waktu ia berbuka karena sakitnya itu.
Jadi jika ada orang sakit yang tidak bisa diharap sembuhnya, lalu dia berbuka
pada 1424 H (tahun lalu), apakah dia wajib membayar fidyah? Maka jawabannya
dilihat, jika pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia dalam keadaan mampu, maka
dia wajib membayar fidyah. Jika pada pada Ramadhan 1424 H (tahun lalu) dia
dalam keadaan tidak mampu, maka dia tidak wajib membayar fidyah. Meskipun saat
ini (1425 H) dia menjadi orang yang mampu.
Inilah pendapat yang dianggap rajih (kuat)
menurut Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Majmu’ Syarah Muhadzdzab, yaitu gugurnya
kewajiban fidyah bagi orang yang tidak mampu. Pendapat ini disepakati juga oleh
Ibnu Hajar, meskipun berbeda dengan pendapat Ar-Rafi’i dan Ar-Ramli (As-Sayyid
Al-Bakri, I’anathut Thalibin, II/241; Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
I/204; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, II/687).
Pendapat Imam Nawawi itu kiranya lebih tepat dan rajih, sesuai firman Allah SWT
:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
(QS Al-Baqarah : 286). Wallahu a’lam.
Yogyakarta, 11 Oktober 2004
Muhammad Shiddiq Al-Jawi