Yang Perlu diketahui Seputar Zakat Mal Dan Zakat Fitrah
SEPUTAR ZAKAT MAL
DAN ZAKAT FITRAH
1. Membagikan Zakat Kepada Non Muslim
Tanya :
Mau tanya, bolehkah
zakat dibagikan kepada fakir dan miskin yang non muslim? (Wito, Yogyakarta).
Jawab :
Zakat fitrah
ataupun zakat mal hanya boleh dibagikan kepada muslim saja. Tidak boleh
dibagikan kepada non muslim (kafir). (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah
Al-Khilafah, hal. 94; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
2/883).
Dalil tidak
bolehnya memberikan zakat kepada non muslim, adalah sabda Nabi SAW kepada Muadz
bin Jabal RA yang diutus oleh Nabi SAW ke Yaman :
فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
"…Maka
beritahukanlah kepada mereka, bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat
pada harta-harta mereka, yang diambil dari orang-orang kaya mereka [di kalangan
muslim] dan dibagikan kepada orang-orang fakir mereka [di kalangan
muslim]." (HR Bukhari, no 1308; Muslim, no 27; Abu
Dawud, no 1351; At-Tirmidzi, no 567; An-Nasa`i, no 2392; Ibnu
Majah, no 1773; Ahmad, no 1967).
Namun kepada
non muslim yang fakir boleh diberi harta selain zakat, seperti shadaqah,
kaffarah, nadzar, dan lain-lain. Demikian pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad
bin Al-Hasan, dan Zufar. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
2/883). Hal itu berdasarkan keumuman lafazh "al-fuqara`"
(orang-orang fakir) pada nash-nash Al-Qur`an, seperti dalam firman-Nya
(artinya) :
إِنْ تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
"Jika kamu menampakkan
sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan
kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik
bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu;
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."
(QS Al-Baqarah [2] : 271).
2. Membayar Zakat Perdagangan dalam Bentuk Sembako
Tanya :
Bolehkah zakat
perdagangan diwujudkan dalam bentuk sembako (sembilan bahan pokok), seperti
beras, gula, minyak goreng, dll? (08122773405).
Jawab :
Para ulama
berbeda pendapat mengenai cara mengeluarkan zakat perdagangan (zakat 'uruudh
at-tijarah). Ada dua pendapat :
Pertama, pendapat
ulama Hanafiyah (madzhab Hanafi), bahwa boleh memilih antara mengeluarkan zakat
dalam bentuk 'ain (barang dagangannya) atau qimah (nilai barang
dagangannya).
Kedua, pendapat
jumhur ulama (Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanabilah) bahwa wajib dikeluarkan
dalam bentuk nilainya (qimah), bukan dalam bentuk barang yang
diperdagangkan. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu,
2/794-795).
Pendapat yang
dianggap rajih (kuat) dan dipilih oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum, adalah
pendapat ulama Hanafiyah, yaitu boleh memilih antara membayar dalam bentuk
barang dagangannya atau nilainya. Karena terdapat dalil-dalil yang membolehkan
amil zakat mengambil nilai (qimah) sebagai ganti dari mengambil harta
zakatnya itu sendiri ('ainul mal). Di antaranya, sebagaimana disebutkan
oleh Abu Ubaid, bahwa 'Amr bin Dinar RA meriwayatkan dari Thawus RA, bahwa Nabi
SAW telah mengutus Muadz ke Yaman. Maka Muadz mengambil baju (tsiyab)
sebagai ganti zakat gandum (al-hinthah) dan jewawut (asy-sya'ir).
(Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 168-169; 178).
Jadi zakat
perdagangan boleh dikeluarkan dalam bentuk barang yang diperdagangkan atau
dalam bentuk nilai barangnya (qimah), yaitu dikeluarkan dalam bentuk
mata uang yang beredar (an-naqd al-mutadawal). (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal
fi Daulah Al-Khilafah, hal. 180).
Berdasarkan
ini, maka pedagang yang menjual suatu barang dagangan (misalnya baju), jika
nilai barang dagangannya telah mencapai nishab (senilai 85 gram emas atau 595
gram perak; dan sudah berlalu satu tahun / haul), wajib mengeluarkan
zakat sebesar 2,5 % (dari seluruh nilai barang dagangan termasuk labanya).
Bentuknya, dapat berupa barang dagangannya itu sendiri, yaitu baju, atau
berbentuk mata uang yang beredar yang senilai. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal
fi Daulah Al-Khilafah, hal. 180).
Jadi,
bolehkah membayar zakat perdagangan dalam bentuk sembako? Menurut pemahaman
kami, boleh. Dengan catatan, sembako itu harus mempunyai nilai (qimah)
yang sama dengan nilai zakat perdagangan yang wajib dikeluarkan. Ini
dikarenakan zakat perdagangan boleh dikeluarkan dalam bentuk barang yang
diperdagangkan, atau dalam bentuk nilainya (qimah). Wallahu a'lam.
3. Membayar Zakat Padi
Tanya :
Kalau zakat pertanian,
yaitu padi, bolehkah dikeluarkan sebagian dalam bentuk beras (digiling dulu)
dan sisanya dikeluarkan dalam bentuk uang? (Ojon,
Yogyakarta).
Jawab :
Menurut
Syaikh Abdul Qadim Zallum, padi (al-aruz) tidaklah termasuk hasil
pertanian yang wajib dizakati. Menurut beliau, hasil pertanian yang wajib
dizakati hanya 4 (empat) saja, tidak ada yang lain, yaitu : (1) jewawut (asy-sya'ir),
(2) gandum (al-hinthah), (3) anggur kering/kismis (az-zabib), dan
(4) kurma (at-tamr). (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah
Al-Khilafah, hal. 162).
Pendapat
Syaikh Zallum ini dekat dengan pendapat Imam Ibnu Hazm (madzhab Zhahiri), yang
menyatakan bahwa dalam zakat pertanian hanya ada 3 (tiga) jenis yang wajib
dizakati, tidak ada yang lain, yaitu : kurma (at-tamr), jewawut (asy-sya'ir),
dan gandum (al-qamhu). (Lihat Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 2/193, Kitabuz
Zakat, mas'alah no 640).
Namun semua
fuqaha sepakat (ijma') bahwa empat jenis tersebut, yaitu jewawut (asy-sya'ir),
gandum (al-hinthah), anggur kering (az-zabib), dan kurma (at-tamr)
wajib dizakati. Demikianlah sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dan
Ibnu Abdil Barr. (Lihat Ibnu Qudamah, Al-Mughni, 2/49, Kitabuz Zakat;
Ibnul Mundzir, Kitab Al-Ijma', hal 10, pasal 93; Ibnu Hazm, Maratibul
Ijma', hal. 18, Kitabuz Zakat). Sementara itu para fuqaha berbeda
pendapat mengenai wajibnya hasil pertanian lainnya di luar empat jenis di atas.
(Ibnu Hazm, Al-Muhalla, 2/193).
Dalil yang
menunjukkan pembatasan (hashr) zakat pertanian hanya pada empat
komoditas itu, adalah sabda Nabi SAW kepada Mudaz bin Jabal dan Abu Musa
Al-Asy'ari ketika Nabi SAW mengutus keduanya ke Yaman :
لا تأخذا الصدقة الا من هذه الاصناف الاربعة الشعير والحنطة والزبيب والتمر
Laa ta'khudza ash-shadaqah illa min haadzihi
al-ashnaaf al-arba'ah asy-sya'ir wal-hinthah wa az-zabib wa at-tamr
"Janganlah kamu berdua
mengambil zakat, kecuali dari jenis yang empat, yaitu : jewawut (asy-sya'ir),
gandum (al-hinthah), anggur kering (az-zabib), dan kurma (at-tamr)." (HR Al-Baihaqi, As- Sunan Al-Kubro, 4/125).
Dalam hadits
di atas, kata "janganlah" (laa) dirangkaikan dengan kata
"kecuali" (illa). Ini menunjukkan adanya pembatasan (qashr),
bahwa zakat yang diambil hanyalah dari empat jenis itu, tidak diambil dari yang
lain. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 162).
Dengan
demikian, jelaslah, bahwa padi tidak termasuk hasil pertanian yang terkena
kewajiban zakat, maka tidak wajib mengeluarkan zakat padi baik dalam
bentuk beras maupun uang yang senilai. Namun jika padi tersebut diperdagangkan,
maka padi itu terkena kewajiban zakat perdagangan ('urudh at-tijarah),
jika sudah memenuhi nishab zakat perdagangan dan sudah berlalu satu tahun (haul).
Wallahu a'lam.
4. Ukuran Satu Sha' dalam Zakat Fitrah
Tanya :
Ustadz, tanya, 1 (satu)
sha' itu berapa kilogram? Dan sha' itu ukuran berat atau volume? (081323174117).
Jawab :
Ukuran zakat
fitrah adalah satu sha' bahan makanan pokok. Sha' itu adalah ukuran
takaran (al-kail), bukan ukuran berat (al-wazan) atau volume.
Satu sha' gandum (al-qamhu) beratnya adalah 2176 gram. (Abdul Qadim
Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 60).
Walaupun
takarannya sama (satu sha') akan tetapi setiap biji-bijian akan mempunyai berat
yang berbeda. Satu sha' gandum beratnya tidak sama dengan satu sha' beras,
tidak sama pula dengan satu sha' jagung, dan seterusnya.
Kami sendiri
belum pernah mengadakan percobaan untuk mengukur satu sha' itu berapa gram
untuk beras. Namun ada ulama Indonesia yang sudah mengukur dan menghitungnya.
Di antaranya adalah Prof. Mahmud Yunus. Menurut Prof. Mahmud Yunus dalam
kitabnya Al-Fiqhul Wadhih Juz 2 hal. 10, 1 sha' beras itu setara dengan
2187,5 gram beras. Beliau menyatakan :
ويخرج المزكي عن كل شخس صاعا من الأرز، وقدره كلوان ومائة وسبعة وثمانون ونصف قرام
"Wa yukhriju al-muzakkiyyu 'an kulli syakhsin
shaa'an min al aruz, wa qadruhu kiluwaani wa mi'atun wa sab'atun wa tsamaanuuna
wa nishfu qiraamin"
"Muzakki mengeluarkan
(zakat fitrah) untuk setiap jiwa sebesar satu sha' beras, dan kadarnya
(beratnya) adalah dua kilogram dan seratus delapan puluh tujuh setengah gram (
2187,5 gram)." (Mahmud Yunus, Al-Fiqhul
Wadhih, Juz 2 hal. 10).
5. Zakat Uang Tabungan
Tanya :
Ustadz,
apakah uang tabungan selama satu tahun sama dengan gaji (penghasilan)? Apakah
ada zakatnya? Nishabnya berapa? Apakah termasuk zakat penghasilan (zakat
profesi)? (Apu El Indragiri)
Jawab :
Uang kertas (an-nuquud
al-waraqiyah; fiat money) –baik disimpan di tabungan maupun tidak-- wajib
dizakati jika memenuhi dua kriteria sebagaimana zakat emas dan perak. Pertama,
telah mencapai nishab, yaitu senilai nishab emas (20 dinar/85 gram emas), atau
senilai nishab perak (200 dirham/595 gram). Kedua, telah berlalu
satu tahun (haul). Zakatnya adalah sebesar 2,5 %. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal
fi Daulah Al-Khilafah, hal. 177).
Kewajiban
zakat atas uang kertas itu diqiyaskan dengan kewajiban zakat atas emas perak,
karena ada kesamaan 'illat (sebab hukum) pada keduanya (uang kertas dengan
emas-perak), yaitu sifat sebagai mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai
harga (ats-tsamaniyyah). Illat ini adalah illat yang diistinbath ('illat
istinbath) dari berbagai hadits yang mengisyaratkan adanya sifat sebagai
mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah), yang
menjadi landasan kewajiban zakat pada emas dan perak. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal
fi Daulah Al-Khilafah, hal. 177). Misalnya hadits Nabi SAW :
فهاتوا صدقة الرقة
Fa-haatuu shadaqata ar-riqqah
"Maka datangkanlah
(bayarlah) zakat riqqah (perak yang dicetak sebagai mata uang)." (HR Bukhari, dari Ali bin Abi Thalib RA).
Penyebutan
kata "riqqah" (perak yang dicetak sebagai mata uang) –dan
bukan dengan kata fidhdhah (perak)— menunjukkan adanya sifat sebagai
mata uang (an-naqdiyah) dan sebagai harga (ats-tsamaniyyah). Dan
sifat ini tak hanya terwujud pada perak atau emas yang dijadikan mata uang,
tapi juga pada uang kertas yang berlaku sekarang, meski ia tidak ditopang
dengan emas atau perak. Maka uang kertas sekarang wajib dizakati, sebagaimana
wajibnya zakat atas emas dan perak. Karena itu, siapa saja yang mempunyai uang
yang telah memenuhi dua kriteria, yaitu nishab dan haul, wajib mengeluarkan
zakatnya sebesar 2,5 %. (Abdul Qadim Zalum, Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah,
hal. 177).
Mengenai
nishab, mungkin ada pertanyaan, manakah standar yang dipakai, nishab emas (85
gram emas) ataukah nishab perak (595 gram perak), jika fakta (manath)
uang kertas yang ada tidak dijamin oleh emas dan perak seperti halnya di
Indonesia?
Dalam masalah
ini kami cenderung pada pendapat Wahbah Az-Zuhaili, yang menyatakan bahwa
pendapat yang lebih tepat (ashoh), adalah mengunakan nishab emas untuk
zakat uang, bukan nishab perak. Sebab nishab emas itu nilainya setara dengan
nishab binatang ternak (onta, sapi, dan kambing), juga mengingat meningkatnya
standar biaya hidup dan melonjaknya berbagai kebutuhan. (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqh
Al-Islami wa Adillatuhu, 2/773).
Contoh kasus
: jika sekarang (September 2008) harga emas adalah Rp 200 ribu per gram
(sebagai contoh saja), berarti nishab zakat uang adalah = 85 gram emas x Rp 200
ribu = Rp 17 juta. Kalau misalkan seseorang punya uang tabungan sebesar Rp 20
juta, berarti uangnya sudah melebihi nishab (Rp 17 juta). Kalau uang yang telah
mencapai nishab ini sudah dimilikinya selama satu tahun (haul), dengan
standar tahun hijriyah bukan tahun syamsiyah, maka zakatnya adalah = 2,5 % x Rp
20 juta = Rp 500 ribu.
Uang tabungan
tidaklah sama atau tidak selalu sama dengan gaji (penghasilan). Uang tabungan
dapat berasal dari gaji, sebagaimana dapat pula berasal dari selain gaji, misal
dari warisan, pemberian, hadiah, zakat, dan sebagainya.
Jadi, yang
ada dalam Syariah Islam itu adalah zakat uang, bukan zakat penghasilan (zakat
profesi). Zakat uang itu bersifat umum ditinjau dari segi asal uangnya, baik
uang itu berasal dari penghasilan (gaji), maupun dari selain penghasilan.
Kami sendiri
tidak setuju dengan apa yang disebut dengan zakat profesi, karena
dalil-dalil yang mendasarinya sangat lemah dan terdapat istidlal
(penggunaan dalil) yang keliru. Namun bukan di sini tempatnya untuk
membentangkan kekeliruan zakat profesi tersebut. Mudah-mudahan di lain waktu
kami mendapat kesempatan untuk membahas kekeliruan zakat profesi itu. Sebagai
informasi, untuk kritik yang mendalam terhadap zakat profesi, silakan telaah
kitab Dr. Al-Yazid bin Muhammad Ar-Radhi, berjudul Zakat Rawatib
Al-Muwazhzhafin wa Kasb Ash-hab Al-Mihan Al-Hurrah, (www.saaid.net).
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Yogyakarta, 27 September 2008
(27 Ramadhan Mubarak 1429 H)
Muhammad Shiddiq Al-Jawi