Bolehkah Riba Dihalalkan Dengan Alasan Darurat
BOLEHKAH RIBA DIHALALKAN
DENGAN ALASAN DARURAT?
Soal:
Bolehkah kita mengambil atau memanfaatkan bunga bank (riba) dengan alasan
darurat, misalnya karena di suatu tempat yang ada hanya bank konvensional,
belum ada bank syariah?
Jawab:
Untuk menjawab persoalan tersebut, akan diuraikan
lebih dahulu definisi darurat menurut makna bahasa dan makna istilah yang
berkembang dalam berbagai madzhab. Setelah itu akan dipilih definisi darurat
yang paling rajih (kuat-tepat) untuk menjawab pertanyaan di atas.
1. Darurat Menurut Makna Bahasa
Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta’rifat
hal. 138, dharurah berasal dari kata dharar. Sedang kata dharar sendiri,
mempunyai tiga makna pokok, yaitu lawan dari manfaat (dhid al-naf’i),
kesulitan/kesempitan (syiddah wa dhayq), dan buruknya keadaan (su`ul haal)
(Al-Munawwir, 1984:876). Kata dharurah, dalam kamus Al-Mu’jam Al-Wasith hal.
538 mempunyai arti kebutuhan (hajah), sesuatu yang tidak dapat dihindari (laa
madfa’a lahaa), dan kesulitan (masyaqqah).
2. Darurat Menurut Makna Istilah
Dalam makna istilahnya,
dharurah (darurat) mempunyai banyak definisi yang hampir sama pengertiannya.
Berikut berbagai definisi darurat menurut ulama madzhab empat dan ulama
kontemporer, yang terhimpun dalam kitab Al-Dharurah wa Al-Hajah wa Atsaruhuma
fi Al-Tasyri’ Al-Islami karya Abdul Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman (1994), dan
kitab Nazhariyyah Al-Dharurah Al-Syar’iyah karya Wahbah Az-Zuhaili (1997).
2.1.
Menurut Madzhab Hanafi
Al-Jashshash dalam Ahkamul
Qur`an (I/150) ketika membahas makhmashah (kelaparan parah) mengatakan, darurat
adalah rasa takut akan ditimpa kerusakan atau kehancuran terhadap jiwa atau
sebagian anggota tubuh bila tidak makan. Al-Bazdawi dalam Kasyful Asrar
(IV/1518) menyebutkan definisi serupa, yaitu darurat dalam hubungannya dengan
kelaparan parah (makhmashah), ialah jika seseorang tidak mau makan,
dikhawatirkan ia akan kehilangan jiwa atau anggota badannya. Sedang dalam kitab
Durar Al-Ahkam Syarah Majallah Al-Ahkam (I/34), Ali Haidar mengatakan, darurat
adalah keadaan yang memaksa (seseorang) untuk mengerjakan sesuatu yang dilarang
oleh syara’ (al-halah al-mulji`ah li tanawul al-mamnu’ syar’an).
2.2. Menurut Madzhab Maliki
Ibn Jizzi Al-Gharnati dalam
Al-Qawanin Al-Fiqhiyah (hal. 194) dan Al-Dardir dalam Al-Syarh Al-Kabir
(II/115) mengatakan, darurat ialah kekhawatiran akan mengalami kematian (khauf
al-maut)...Dan tidak disyaratkan seseorang harus menunggu sampai (benar-benar)
datangnya kematian, tapi cukuplah dengan adanya kekhawatiran akan mati,
sekalipun dalam tingkat dugaan (zhann).
2.3. Menurut Madzhab Syafii
Imam Suyuthi dalam Al-Asybah
wa An-Nazha`ir hal. 61 mengatakan darurat adalah sampainya seseorang pada batas
di mana jika ia tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau
mendekati binasa. Muhammad Al-Khathib Al-Syarbaini dalam Mughni Al-Muhtaj
(IV/306) menyatakan, darurat adalah rasa khawatir akan terjadinya kematian atau
sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya penyakit ataupun semakin
lamanya sakit...dan ia tidak mendapatkan yang halal untuk dimakan, yang ada
hanya yang haram, maka saat itu ia mesti makan yang haram itu.
2.4. Menurut Madzhab Hanbali
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni
(VIII/595) menyatakan, darurat yang membolehkan seseorang makan yang haram
(al-dharurah al-mubahah) adalah darurat yang dikhawatirkan akan membuat
seseorang binasa jika ia tidak makan yang haram.
2.5. Menurut Ulama Kontemporer
Muhamad Abu Zahrah dalam Ushul
Al-Fiqh hal. 43 mendefinisikan darurat sebagai kekhawatiran akan terancamnya
kehidupan jika tidak memakan yang diharamkan, atau khawatir akan musnahnya
seluruh harta miliknya. Mustafa Az-Zarqa` dalam Al-Madkhal Al-Fiqhi Al-‘Aam
(I/991) berkata, darurat adalah sesuatu yang jika diabaikan akan berakibat
bahaya, sebagaimana halnya al-ikrah al-mulji` (paksaan yang mengancam jiwa) dan
khawatir akan binasa (mati) karena kelaparan. Wahbah Az-Zuhaili dalam
Nazhariyyah Al-Dharurah hal. 65 mendefinisikan darurat adalah datangnya bahaya
(khathr) pada manusia atau kesulitan (masyaqqah) yang amat berat, yang membuat
dia khawatir akan terjadinya mudarat atau sesuatu yang menyakitkan atas jiwa,
anggota tubuh, kehormatan, akal, harta, dan yang bertalian dengannya.
3.
Definisi yang Rajih
Berbagai definisi ulama
madzhab empat mempunyai pengertian yang hampir sama, yaitu kondisi terpaksa
yang dikhawatirkan dapat menimbulkan kematian, atau mendekati kematian. Dengan
kata lain, semuanya mengarah kepada tujuan pemeliharaan jiwa (hifh an-nafs).
Wahbah Az-Zuhaili menilai definisi tersebut tidaklah lengkap, sebab menurutnya,
definisi darurat haruslah mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang
haram atau ditinggalkannya yang wajib. Maka dari itu, Az-Zuhaili menambahkan
tujuan selain memelihara jiwa, seperti tujuan memelihara akal, kehormatan, dan
harta. Abu Zahrah juga menambahkan tujuan pemeliharaan harta, sama dengan
Az-Zuhaili. Tapi, apakah definisi yang lebih “lengkap” ini otomatis lebih rajih
(kuat)?
Sesungguhnya definisi darurat
haruslah dikembalikan pada nash-nash yang menjadi sumber pembahasan darurat.
Sebab istilah darurat memang bersumber dari beberapa ayat al-Qur`an, seperti
dalam Qs. al-Baqarah [2]: 173; Qs. al-Maa`idah [5]: 3; Qs. al-An‘aam [6]: 119;
Qs. al-An‘aam [6]: 145; dan Qs. an-Nahl [16]: 115 (Asjmuni Abdurrahman,
2003:42-43). Ayat-ayat ini intinya menerangkan kondisi darurat karena
terancamnya jiwa jika tidak memakan yang haram, seperti bangkai dan daging
babi. Jadi, kunci persoalannya bukanlah pada lengkap tidaknya definisi darurat,
melainkan pada makna dalil-dalil syar’i yang mendasari definisi darurat itu
sendiri.
Berdasarkan ayat-ayat itulah,
Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah (III/477)
menyatakan, definisi darurat adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang
dikhawatirkan akan dapat menimbulkan kebinasaan/ kematian (al-idhthirar
al-mulji` alladzi yukhsya minhu al-halak). Inilah definisi darurat yang sahih,
yaitu kondisi terpaksa yang membolehkan yang haram, sebagaimana termaktub dalam
kaidah yang masyhur: al-dharurat tubiih al-mahzhuurat (Kondisi darurat
membolehkan yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, t.t.:59). Definisi Taqiyuddin
An-Nabhani ini dekat dengan definisi Mustafa Az-Zarqa` dan kurang lebih sama
maknanya dengan definisi ulama madzhab empat.
4. Implikasi Definisi
Dari definisi darurat yang
rajih tersebut, kita dapat mengetahui cakupan darurat, yaitu kondisi terpaksa
yang berkaitan dengan pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs), seperti misalnya orang
kelaparan yang terancam jiwanya yang tidak mendapatkan makanan selain daging
babi atau bangkai (Muhlish Usman, 1996:134). Atau seperti orang yang diancam
akan dibunuh jika tidak mau mengucapkan kata-kata kufur, asalkan hatinya tetap
beriman (Dja’far Amir, t.t.:37).
Adapun tujuan syariah lainnya,
misalnya pemeliharaan harta (hifzh al-mal), sebenarnya bukanlah termasuk
cakupan darurat. Jadi, tidak benar fatwa yang membolehkan mengambil atau
memanfaatkan bunga bank dari bank konvensional, dengan alasan darurat karena
belum adanya bank syariah di suatu tempat.
Fatwa yang tidak tepat itu
kemungkinan karena didasarkan pada definisi darurat yang lebih “lengkap” dari
ulama kontemporer. Padahal definisi “lengkap” itu sebenarnya tidaklah sesuai
dengan maksud yang dikehendaki oleh dalil-dalil syar’i untuk makna dharurah.
5. Kesimpulan
Dari uraian di atas, jelaslah
bunga bank (yang termasuk riba), tidak dapat dimanfaatkan dengan alasan
darurat. Misalnya dengan dalih bahwa di suatu tempat (kota, kabupaten, atau
propinsi) belum ada bank syariah, sementara yang ada hanya bank konvensional
yang memberi atau mengambil riba. Memanfaatkan riba adalah haram, baik di suatu
tempat yang sudah ada bank syariahnya maupun yang belum ada bank syariahnya.
Wallahu a’lam.
4
September 2005
Muhammad
Shiddiq Al Jawi
Sumber: http://dua.hikmatul-iman.com/forum/read.php?f=5&i=19770&t=19770