Bagaimana Hukum Praktikum Bedah Mayat (Otopsi)
HUKUM PRAKTIKUM BEDAH MAYAT (OTOPSI)
Tanya :
Ustadz,
apa hukumnya kadafer (mayat manusia) yang digunakan mahasiswa kedokteran
sebagai bahan praktikum, seperti pembedahan? (Bambang,
bumi Allah)
Jawab :
Otopsi (bedah mayat) adalah pemeriksaan mayat dengan pembedahan.
Ada tiga macam otopsi:
(1) otopsi anatomis, yaitu otopsi yang
dilakukan mahasiswa kedokteran untuk mempelajari ilmu anatomi.
(2) otopsi klinis, yaitu
otopsi untuk mengetahui berbagai hal yang terkait dengan penyakit (misal jenis
penyakit) sebelum mayat meninggal.
(3) otopsi forensik, yaitu
otopsi yang dilakukan oleh penegak hukum terhadap korban pembunuhan atau
kematian yang mencurigakan, untuk mengetahui sebab kematian, menentukan
identitasnya, dan sebagainya.
Para ulama kontemporer berbeda pendapat
mengenai hukum otopsi di atas dalam dua pendapat.
Pertama, membolehkan ketiga otopsi itu, dengan
alasan dapat mewujudkan kemaslahatan di bidang keamanan, keadilan, dan
kesehatan. Ini pendapat Hasanain Makhluf, Said Ramadhan Al-Buthi, dan beberapa
lembaga fatwa seperti Majma' Fiqih Islami OKI, Hai`ah Kibar Ulama
(Saudi), dan Fatwa Lajnah Da`imah (Saudi). (As-Sa'idani, Al-Ifadah
Al-Syar'iyah fi Ba'dh Al-Masa`il Al-Thibiyah, h. 172; As-Salus, Mausu`ah
Al-Qadhaya Al-Fiqhiyah Al-Mu'ashirah, h. 587; Al-Syinqithi, Ahkam
Al-Jirahah Al-Thibiyah, h. 170; Al-Hazmi, Taqrib Fiqh Al-Thabib, h.
90).
Kedua, mengharamkan ketiga otopsi itu, dengan
alasan otopsi melanggar kehormatan mayat, yang telah dilarang berdasarkan sabda Nabi
SAW, "Memecahkan tulang mayat sama dengan memecahkan tulangnya saat dia
hidup." (kasru 'azhmi al-mayyit ka-kasrihi hayyan). (HR Abu Dawud,
sahih).
Ini pendapat Taqiyuddin An-Nabhani,
Bukhait Al-Muthi'i, dan Hasan As-Saqaf. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah Al-Thibiyah, h.
170; Nasyrah Soal Jawab, 2/6/1970).
Menurut kami, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah
pendapat kedua, yang mengharamkan ketiga jenis otopsi, termasuk otopsi dalam
rangka praktikum mahasiswa kedokteran, karena : (1) pendapat yang membolehkan
berdalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah), padahal Mashalah Mursalah
bukan dalil syar'i yang kuat. Menurut Imam An-Nabhani, Mashalih Mursalah
tidak layak menjadi dalil syar'i. (An-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah,
3/444). (2) terdapat hadis-hadis sahih yang melarang melanggar kehormatan
mayat, seperti mencincang, menyayat, atau memecahkan tulangnya sebagaimana di
atas.
Namun, keharaman otopsi ini hanya untuk mayat muslim.
Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. (Al-Syinqithi, Ahkam Al-Jirahah
Al-Thibiyah, h. 179; Nashiruddin Al-Albani, Ahkam Al-Jana`iz, h.
299). Sebab di samping hadis dengan lafal mutlaq (tak disebut sifatnya,
yaitu semua mayat), ternyata ada hadis sahih dengan lafal muqayyad
(disebut sifatnya, yaitu mayat mu`min/muslim), yakni sabda Nabi SAW,
"Memecahkan tulang mu`min yang sudah mati, sama dengan memecahkannya saat
dia hidup." (kasru 'azhmi al-mu`min maytan mitslu kasrihi hayyan.)
(HR Ahmad, no 23172 & no 25073; Malik, Al-Muwathha`, 2/227; Ad-Daruquthni,
8/208; Ibn Hajar, Fathul Bari, 14/297; at-Thahawi, Musykil Al-Atsar,
3/281; Al-Albani, Shahih wa Dhaif Al-Jami' Ash-Shaghir, 9/353). Kaidah
ushuliyah menyebutkan, "Lafal mutlak tetap dalam kemutlakannya hingga
datang lafal yang muqayyad." (Al-muthlaqu yabqa 'ala ithlaaqihi maa lam
yarid dalil at-taqyid).
Kesimpulannya, otopsi hukumnya haram
jika mayatnya muslim. Sedang jika mayatnya non muslim, hukumnya boleh. Wallahu
a'lam
Yogyakarta, 24
April 2009
Muhammad
Shiddiq Al-Jawi