Bolehkah Wanita Haid Berdiam Di Mesjid
WANITA HAID BERDIAM DI
MASJID
SOAL :
Apakah kalau wanita haid sudah pakai pembalut, boleh berdiam di masjid? Lalu
apa batasan masjid? Apakah teras masjid termasuk masjid? (Ani, Yogya)
JAWAB :
1. Hukum Wanita Haid Berdiam di Masjid
Jumhur ulama, di antaranya imam madzhab yang empat, sepakat bahwa wanita yang
haid tidak boleh berdiam (al-lubts) di dalam masjid, karena ada hadits Nabi SAW
yang mengharamkannya.(Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilaf
Al-A`immah, hal. 17) Imam Dawud Azh-Zhahiri membolehkan wanita haid dan orang
junub berdiam di masjid. (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, I/92). Namun
pendapat yang kuat adalah pendapat jumhur yang mengharamkannya. Dalilnya adalah
sabda Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita
yang haid dan orang junub.” (HR. Abu Dawud). (Hadits ini shahih menurut Ibnu
Khuzaimah. Lihat Subulus Salam, I/92. Menurut Ibn al-Qaththan, hadits ini
hasan, Kifayatul Akhyar, I/80)
Yang dimaksud berdiam (Arab : al-lubtsu, atau al-muktsu)
artinya berdiam atau tinggal di masjid, misalnya duduk untuk mengisi atau
mendengarkan pengajian, atau tidur di dalam masjid. Tidak ada bedanya apakah
duduk atau berdiri. Berjalan mondar-mandir (at-taraddud) di dalam masjid, juga
tidak dibolehkan bagi wanita haid (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
I/80).
Adapun jika seorang wanita haid sekedar lewat atau melintas
(al-murur) di dalam masjid karena suatu keperluan, maka itu tidak apa-apa.
Dengan catatan wanita itu tidak merasa khawatir akan mengotori masjid. (Lihat
As-Suyuthi, “Al-Qaul fi Ahkam Al-Masajid”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 241,
dan “Bab Al-Haidh”, Al-Asybah wa An-Nazha`ir, hal. 247; As-Sayid A’lawi,
Bughyatul Mustarsyidin, hal. 14). Dalilnya, Nabi SAW pernah memerintah ‘A`isyah
untuk membawa khumrah (semacam sajadah) yang ada di masjid. Lalu‘A`isyah
berkata, “Sesungguhnya aku sedang haid.” Rasul bersabda,”Sesungguhnya haidhmu
itu bukan berada di tanganmu.” (HR. Muslim) (Lihat Dr. Mustopha Diibul Bigha,
Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 76; M. Shalih Al-Utsaimin, Al-Fatawa An-Nisa`iyah
(Fatwa-Fatwa Tentang Wanita), hal. 44). Selain itu, ada riwayat lain bahwa
Maimunah RA pernah berkata,”Salah seorang dari kami pernah membawa sajadah ke
masjid lalu membentangkannya, padahal dia sedang haidh.” (HR. An-Nasa`i)(Lihat
Dr. Mustopha Diibul Bigha, Fiqih Syafi’i (At-Tahdzib), hal. 77)
Berdasarkan penjelasan di atas, sesungguhnya hukum syara’ dalam masalah ini
telah jelas, yaitu wanita haid haram hukumnya berdiam di masjid. Adapun jika
sekedar lewat atau melintas, hukumnya boleh dengan syarat tidak ada
kekhawatiran akan mengotori masjid.
Sebagian ulama memang ada yang membolehkan wanita haid berdiam di masjid
asalkan ia merasa aman (tidak khawatir) akan dapat mengotori masjid, misalnya
dengan memakai pembalut (Taqiyuddin Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/78) Dalam
Syarah Al-Bajuri Juz I hal. 115 dikatakan, bahwa kalau wanita haid tidak
khawatir akan mengotori masjid, atau bahkan merasa aman, maka pada saat itu
tidak diharamkan baginya masuk masjid, tetapi hanya makruh saja (KH. Moch
Anwar, 100 Masail Fiqhiyah : Mengupas Masalah Agama yang Pelik dan Aktual, hal.
51)
Menurut pemahaman kami, pendapat itu tidak dapat diterima.
Sebab pendapat tersebut tidak mempunyai landasan syar’i yang kuat. Pendapat
tersebut menjadikan “kekhawatiran mengotori masjid”, sebagai illat (alasan
penetapan hukum) bagi haramnya wanita berdiam di masjid. Jadi, jika
kekhawatiran itu sudah lenyap (dengan memakai pembalut), maka hukumnya tidak
haram lagi. Padahal, hadits yang ada tidak menunjukkan adanya illat bagi
haramnya wanita haid untuk berdiam di masjid. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa
keharamannya dikarenakan ada kekhawatiran akan menajiskan masjid. Sehingga jika
kekhawatiran itu lenyap (dengan memakai pembalut) maka hukumnya tidak haram.
Tidak bisa dikatakan demikian, karena nash yang ada tidak menunjukkan adanya
illat itu. Nabi SAW hanya mengatakan, “Sesungguhnya aku tidak menghalalkan
masjid bagi wanita yang haid dan orang junub.” Nash ini jelas tidak menunjukkan
adanya illat apa pun, baik illat secara sharahah (jelas), dalalah (penunjukan),
istinbath, atau qiyas.
Lagi pula nash tersebut bersifat mutlak, bukan muqayyad.
Jadi yang diharamkan berdiam di masjid adalah wanita haid, secara mutlak. Baik
wanita haid itu akan dapat mengotori masjid, atau tidak akan mengotori masjid.
Memakai pembalut atau tidak memakai pembalut. Jadi, selama tidak ada dalil yang
memberikan taqyid (batasan atau sifat tertentu) --misalnya yang diharamkan
hanya wanita haid yang dapat mengotori masjid— maka dalil hadits tersebut tetap
berlaku untuk setiap wanita haid secara mutlak. Hal ini sesuai kaidah ushul
fiqh :
Al-muthlaqu yajriy ‘ala ithlaaqihi maa lam yarid daliil at-taqyiid
“[Lafazh] mutlak tetap berlaku dalam kemutlakannya selama
tidak ada dalil yang menunjukkan adanya taqyid (pemberian batasan/sifat
tertentu).” (Lihat Wahbah Az-Zuhaili, Ushul Al-Fiqh Al-Islami, I/208; Imam
Asy-Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 164)
2. Batasan Masjid
Setelah jelas wanita haid tidak boleh berdiam di masjid, maka pertanyaan
berikutnya adalah, apa batasan masjid itu? Masjid adalah tempat yang ditetapkan
untuk mendirikan shalat jamaah bagi orang umum (Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pedoman Sholat, hal. 274-275; Koleksi Hadits-Hadits Hukum, III/368; Ibrahim
Anis dkk, Al-Mu’jam Al-Wasith, hal. 416.)
Yang dimaksud shalat jamaah, terutama adalah shalat jamaah
lima waktu dan shalat Jumat. Namun termasuk juga shalat jamaah sunnah seperti
shalat Tarawih dan shalat Idul Fitri atau Idul adha. Di Indonesia, jika hanya
untuk berjamaah lima waktu tetapi tidak digunakan shalat Jumat, tempat itu
biasanya tidak disebut masjid, tapi disebut musholla, atau nama yang
semisalnya, yaitu langgar (Jawa), surau (Sumatera Barat), atau meunasah (Aceh).
Sedang istilah masjid atau masjid jami`, biasanya digunakan untuk tempat yang
dipakai shalat Jumat. Sebenarnya, semua itu termasuk kategori masjid, menurut
definisi di atas. Karena yang penting tempat itu digunakan shalat berjamaah
untuk orang umum. Maka, terhadap musholla, atau langgar, surau, atau meunasah,
diberlakukan juga hukum-hukum untuk masjid, misalnya wanita haid tidak boleh
berdiam di dalamnya. Walaupun tidak dinamakan masjid. Adapun jika sebuah tempat
disiapkan untuk shalat jamaah, tapi hanya untuk orang tertentu (misal penghuni
suatu rumah), maka tempat itu tidak dinamakan masjid, dan tidak diterapkan
hukum-hukum masjid padanya. Demikian pula jika sebuah tempat hanya digunakan
untuk shalat secara sendiri, bukan untuk shalat jamaah, maka itu juga bukan
dinamakan masjid.
Definisi di atas adalah definisi umum, yaitu untuk
membedakan masjid dengan bangunan yang bukan masjid. Ada definisi khusus, yaitu
masjid dalam pengertian tempat-tempat yang digunakan untuk shalat (mawadhi’
ash-shalat), atau tempat-tempat yang digunakan untuk sujud (mawdhi’ as-sujud)
(Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152)
Definisi khusus ini untuk membedakan berlakunya hukum
mesjid bagi sebuah kompleks bangunan masjid yang luas dan terdiri dari beberapa
bangunan atau ruang untuk berbagai keperluan. Sebab adakalanya sebuah kompleks
masjid itu memiliki banyak ruangan, atau mungkin mempunyai dua lantai,
mempunyai kamar khusus untuk penjaga masjid, mempunyai ruang sidang/rapat,
toko, teras, tempat parkir, dan sebagainya. Bahkan ada masjid yang lantai
dasarnya kadang digunakan untuk acara resepsi pernikahan, pameran, dan
sebagainya. Apakah semua ruangan itu disebut masjid dan berlaku hukum-hukum
masjid? Menurut pemahaman kami, jawabnya tidak. Dalam keadaan ini, berlakulah
definisi khusus masjid, yaitu masjid sebagai mawadhi` ash-sholat (tempat-tempat
sholat) (Lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam I/92 & 152)
Maka dari itu, teras masjid bukanlah masjid, jika teras itu
memang tidak digunakan untuk shalat jamaah. Jika digunakan shalat jamaah,
termasuk masjid. Demikian pula bagian masjid yang lain, misalnya ruang sidang,
ruang rapat, kamar penjaga masjid, tempat parkir, dan sebagainya. Semuanya
bukan masjid jika tidak digunakan untuk shalat jamaah. Ringkasnya, semua tempat
atau ruang yang tidak digunakan shalat jamaah, tidak dinamakan masjid, meski
pun merupakan bagian dari keseluruhan bangunan masjid.
Bagaimana andaikata suatu tempat di masjid (misalkan teras)
kadang digunakan shalat jamaah dan kadang tidak? Jawabannya adalah sebagai
berikut. Yang menjadi patokan adalah apakah suatu tempat itu lebih sering
dipakai shalat jamaah, atau lebih sering tidak dipakai untuk shalat jamaah.
Jika lebih sering dipakai shalat jamaah, maka dihukumi masjid. Jika lebih
sering tidak dipakai, maka tidak dianggap masjid.
Yang demikian itu bertolak dari suatu prinsip bahwa hukum syara’ itu didasarkan
pada dugaan kuat (ghalabatuzh zhann). Dan dugaan kuat itu dapat disimpulkan
dari kenyataan yang lebih banyak/dominan (aghlabiyah). Ini sebagaimana metode
para fuqaha ketika menetapkan pensyariatan Musaqah (akad menyirami pohon)
--bukan Muzara’ah (akad bagi hasil pertanian)-- di tanah Khaybar. Mengapa?
Karena tanah di Khaybar (sebelah utara Madinah) pada masa Nabi SAW sebagian
besarnya adalah tanah-tanah yang berpohon kurma. Sedang di sela-sela pohon
kurma itu, yang luasnya lebih sedikit, ada tanah-tanah kosong yang bisa
ditanami gandum. Hal ini bisa diketahui dari riwayat Ibn Umar, bahwa hasil
pertanian Khaybar yang diberikan Nabi kepada para isteri beliau, jumlahnya 100
wasaq, terdiri 80 wasaq buah kurma dan 20 wasaq gandum (HR. Bukhari) (Lihat
Taqiyuddin An-Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur, hal. 319). Karena yang lebih
banyak adalah hasil kurma, bukan gandum, maka akad yang ada di Khaybar
sesungguhnya adalah Musaqah, bukan Muzara`ah.
Penjelasan di atas menunjukkan contoh kasus bahwa hukum
syara’ itu dapat didasarkan pada kenyataan yang lebih banyak (aghlabiyah). Maka
dari itu, ketika kita menghadapi fakta adanya teras masjid yang kadang dipakai
shalat dan kadang tidak dipakai shalat jamaah, kita harus melihat dulu, manakah
yang aghlabiyah (yang lebih banyak/sering). Jika lebih sering dipakai shalat
jamaah, maka teras itu dihukumi masjid. Dan jika lebih sering tidak dipakai
shalat jamaah, maka teras itu dianggap bukan masjid. Wallahu a’lam [ ]
Catatan :
1 wasaq = 130,560 kg gandum (Lihat Abdul Qadim Zallum,
Al-Amwal fi Daulah Al-Khilafah, hal. 63; Abdurahman Asssl-Baghdadi, Serial
Hukum Islam, hal. 92.)
Yogyakarta, 15
Januari 2004
M. Shiddiq Al-Jawi