Bagimana Hukum dan solusinya Jika Belum Qadha’ Puasa Ramadhan Sudah Datang Lagi
BELUM QADHA`
PUASA, RAMADHAN SUDAH DATANG LAGI
Tanya :
1. Bagaimana cara
mengqadha` puasa yang ditinggalkan? Masalahnya, belum sempat mengqadha’
ternyata bulan puasa sudah tiba kembali (081325703113).
2. Ustadz, kalau belum
bayar hutang puasa tahun kemarin, tapi sudah ketemu Ramadhan lagi, bagaimana
hukumnya? (081578729499)
Jawab :
Barangsiapa yang
belum mengqadha puasa Ramadhan yang lalu, kemudian sudah datang lagi Ramadhan
berikutnya, maka harus dilihat dulu alasan penundaan (ta`khir) qadha
tersebut. Jika penundaan itu karena ada udzur (alasan syar’i), seperti sakit,
nifas, menyusui, atau hamil, maka tidak mengapa. Demikian menurut seluruh
mazhab tanpa ada perbedaan pendapat, sebab yang bersangkutan dimaafkan karena
ada udzur dalam penundaan qadha`-nya.
Namun jika
penundaan qadha` itu tanpa ada udzur, maka para ulama berbeda pendapat dalam
dua pendapat :
Pendapat Pertama, pendapat jumhur, yaitu Imam
Malik, Ats-Tsauri, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan lain-lain berpendapat orang tersebut
di samping tetap wajib mengqadha`, dia wajib juga membayar fidyah, yaitu
memberi makan seorang miskin untuk setiap hari dia tidak berpuasa. Fidyah ini
adalah sebagai kaffarah (penebus) dari penundaan qadha`-nya. Demikian penuturan
Imam Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni Ma’a Asy-Syarh Al-Kabir,
II/81 (Dikutip oleh Yusuf al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam, [Kairo : Darush
Shahwah], 1992, hal. 64).
Pendapat
pertama ini terbagi lagi menjadi dua : (1) Menurut ulama Syafi’iyah, fidyah
tersebut berulang dengan berulangnya Ramadhan (Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh
Ala al-Mazahib Al-Arba’ah Kitabush Shiyam (terj), hal. 109). (2) Sedangkan
menurut ulama Malikiyah dan Hanabilah, fidyah hanya sekali, yakni tidak
berulang dengan berulangnya Ramadhan (Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa
Adillatuhu, II/680).
Dalil
pendapat pertama ini, yakni yang mewajibkan fidyah di samping qadha karena
adanya penundaan qadha` hingga masuk Ramadhan berikutnya, adalah perkataan
sejumlah sahabat, seperti Ibnu Umar, Ibnu Abbas, dan Abu Hurairah (Imam
Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm], 2000, hal. 872).
Ath-Thahawi dalam masalah ini meriwayatkan dari Yahya bin Aktsam,"Aku
mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah
ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka." (wajadtuhu ‘an sittin min
ash-shahabati laa a‘lamu lahum fiihi mukhalifan).(Mahmud Abdul Latif
Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, [Beirut : Mu`assasah
Ar-Risalah], 2002, hal. 210).
Imam Syaukani
menjelaskan dalil lain bagi pendapat pertama ini. Yaitu sebuah riwayat dengan
isnad dhaif dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW tentang seorang laki-laki yang sakit
di bulan Ramadhan lalu dia tidak berpuasa, kemudian dia sehat namun tidak
mengqadha` hingga datang Ramadhan berikutnya. Maka Nabi SAW bersabda,"Dia
berpuasa untuk bulan Ramadhan yang menyusulnya itu, kemudian dia berpuasa untuk
bulan Ramadhan yang dia berbuka padanya dan dia memberi makan seorang miskin
untuk setiap hari [dia tidak berpuasa]." (yashuumu alladziy adrakahu
tsumma yashuumu asy-syahra alladziy afthara fiihi wa yuth’imu kulla yaumin
miskiinan). (HR Ad-Daruquthni, II/197). (Imam Syaukani, Nailul
Authar, hal. 871; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu,
II/689).
Pendapat Kedua, pendapat Imam Abu Hanifah dan
para sahabatnya, Imam Ibrahim An-Nakha`i, Imam al-Hasan Al-Bashri, Imam
Al-Muzani (murid Asy-Syafi’i), dan Imam Dawud bin Ali. Mereka mengatakan bahwa
orang yang menunda qadha` hingga datang Ramadhan berikutnya, tidak ada
kewajiban atasnya selain qadha`. Tidak ada kewajiban membayar kaffarah (fidyah)
(Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, I/240; Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, II/240; Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li
Ahkam Ash-Shiyam, hal. 210).
Dalil ulama
Hanafiyah ini sebagaimana dijelaskan Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul
Islami wa Adillatuhu (II/240). adalah kemutlakan nash Al-Qur`an yang
berbunyi "fa-‘iddatun min ayyamin ukhar" yang berarti
"maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain." (QS Al-Baqarah [2] : 183).
Perlu
ditambahkan bahwa dalam masalah menunda qadha` (ta`khir al-qadha`), Imam
Abu Hanifah memang membolehkan qadha` puasa Ramadhan kapan saja walau pun sudah
datang lagi bulan Ramadhan berikutnya. Dalilnya adalah kemutlakan nash
Al-Baqarah : 183. Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam, hal. 122,
dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,"Kewajiban
mengqadha puasa Ramadhan adalah kewajiban yang lapang waktunya tanpa ada
batasan tertentu, walaupun sudah masuk Ramadhan berikutnya." (wujuubu
al-qadhaa`i muwassa’un duuna taqyiidin walaw dakhala ramadhan ats-tsaniy).
Sedang jumhur
berpendapat bahwa penundaan qadha` selambat-lambatnya adalah hingga bulan
Sya’ban dan tidak boleh sampai masuk Ramadhan berikutnya. Dalil pendapat jumhur
ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad
dari ‘A`isyah RA dia berkata,"Aku tidaklah mengqadha` sesuatu pun dari apa
yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali di bulan Sya’ban hingga wafatnya
Rasulullah SAW." (maa qadhaytu syai`an mimmaa yakuunu ‘alayya min
ramadhaana illaa sya’baana hatta qubidha rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa
sallama) (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam,
[Beirut : Mu`assasah Ar-Risalah], 2002, hal. 122).
Tarjih
Setelah
mendalami dan menimbang dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (kuat)
menurut pemahaman kami adalah sebagai berikut :
Masalah Fidyah
Mengenai
wajib tidaknya fidyah atas orang yang menunda qadha` Ramadhan hingga datang
Ramadhan berikutnya, pendapat yang rajih adalah pendapat Imam Abu
Hanifah, Ibrahim An-Nakha`i, dan lain-lain. Pendapat ini menyatakan bahwa orang
yang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak
wajib membayar fidyah.
Hal itu
dikarenakan kewajiban membayar fidyah bagi orang yang menunda qadha` Ramadhan
hingga masuk Ramadhan berikutnya, membutuhkan adanya dalil khusus dari
nash-nash syara’. Padahal tidak ditemukan nash yang layak menjadi dalil untuk
kewajiban fidyah itu. (Mahmud Abdul Latif Uwaidhah, Al-Jami’ li Ahkam
Ash-Shiyam, hal.210).
Adapun dalil
hadits Abu Hurairah yang dikemukakan, adalah hadits dhaif yang tidak layak
menjadi hujjah (dalil). Imam Syaukani berkata,"…telah kami jelaskan bahwa
tidak terbukti dalam masalah itu satu pun [hadits shahih] dari Nabi SAW."
(Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 872). Yusuf al-Qaradhawi
meriwayatkan tarjih serupa dari Shiddiq Hasan Khan dalam kitabnya Ar-Raudatun
An-Nadiyah (I/232),"…tidak terbukti dalam masalah itu sesuatu pun
[hadits sahih] dari Nabi SAW." (Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqhush Shiyam,
hal. 64).
Pendapat
beberapa sahabat yang mendasari kewajiban fidyah itu, adalah dasar yang lemah.
Sebab pendapat sahabat --yang dalam ushul fiqih disebut dengan mazhab
ash-shahabi atau qaul ash-shahabi— bukanlah hujjah (dalil syar’i)
yang layak menjadi sumber hukum Islam. Imam Syaukani berkata,"Pendapat
yang benar bahwa qaul ash-shahabi bukanlah hujjah [dalil syar’i]."
(Imam Syaukani, Irsyadul Fuhul, hal. 243). Imam Taqiyuddin an-Nabhani
menegaskan,"…mazhab sahabat tidak termasuk dalil syar’i." (Taqiyuddin
An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah, III/411).
Mengenai
periwayatan ath-Thahawi dari Yahya bin Aktsam bahwa dia berkata,"Aku
mendapati pendapat ini dari enam sahabat yang tidak aku ketahui dalam masalah
ini ada yang berbeda pendapat dengan mereka", tidaklah dapat diterima.
Mahmud Abdul Latif Uwaidhah dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam hal.210
mengatakan,"Sesungguhnya riwayat-riwayat dari sahabat ini tidaklah
terbukti, sebab riwayat-riwayat itu berasal dari jalur-jalur riwayat yang lemah
[dhaif]. Maka ia wajib ditolak dan tidak boleh ditaqlidi atau diikuti."
Masalah Waktu Qadha
Adapun waktu
qadha`, yang rajih adalah pendapat jumhur, bukan pendapat Imam Abu
Hanifah, rahimahullah. Jadi mengqadha` puasa Ramadhan itu waktunya
terbatas, bukan lapang (muwassa`) sebagaimana pendapat Imam Abu Hanifah.
Maka qadha wajib dilakukan sebelum masuknya Ramadhan berikutnya. Jika seseorang
menunda qadha tanpa udzur hingga masuk Ramadhan berikutnya, dia berdosa.
Dalilnya
adalah hadits A`isyah RA di atas bahwa dia berkata,"Aku tidaklah
mengqadha` sesuatu pun dari apa yang wajib atasku dari bulan Ramadhan, kecuali
di bulan Sya’ban hingga wafatnya Rasulullah SAW." (HR. At-Tirmidzi,
Ibnu Khuzaimah, dan Ahmad, hadits sahih). (Terdapat hadits-hadits yang
semakna dalam lafazh-lafazh lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari dan
Muslim. Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 871-872, hadits no.
1699).
Memang hadits
di atas adalah hadits mauquf yaitu merupakan perbuatan, perkataan, dan diamnya
sahabat, yang dalam hal ini adalah perkataan dan/atau perbuatan ‘Aisyah RA.
Jadi ia memang bukan hadits marfu’, yaitu hadits yang isinya adalah perbuatan,
perkataan, dan diamnya Rasulullah SAW.
Namun
adakalanya sebuah hadits itu mauquf, tapi dihukumi sebagai hadits marfu’. Para
ulama menyebut hadits semacam ini dengan sebutan al-marfu’ hukman, yakni
hadits yang walaupun secara redaksional (lafzhan) adalah hadits mauquf
tetapi secara hukum termasuk hadits marfu’ (Mahmud Thahhan, Taysir Musthalah
al-Hadits, hal. 131).
Hadits al-marfu’
hukman mempunyai ciri antara lain bahwa objek hadits bukanlah lapangan
pendapat atau ijtihad. Dengan kata lain, bahwa seorang sahabat tidaklah
berkata, berbuat, atau berdiam terhadap sesuatu kecuali dia telah memastikan
bahwa itu berasal dari Nabi SAW (Shubhi Shalih, ‘Ulumul Hadits wa
Musthalahuhu, hal. 207-208).
Mengenai
hadits ‘A`isyah RA di atas terdapat indikasi bahwa ia adalah al-marfu’
hukman. Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li
Ahkam Ash-Shiyam hal. 123-124 dengan mengatakan :
"Adalah
jauh sekali, terjadi perbuatan itu dari ‘A`isyah ---yang tinggal dalam rumah
kenabian— tanpa adanya pengetahuan dan persetujuan (iqrar) dari
Rasulullah SAW. Nash ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk
mengqadha` puasa adalah bulan Sya’ban. Artinya, qadha` hendaknya dilaksanakan
sebelum datangnya Ramadhan yang baru. Jika tidak demikian, maka seseorang telah
melampaui batas. Kalau qadha` itu boleh ditunda hingga datangnya Ramadhan yang
baru, niscaya perkataan ‘A`isyah itu tidak ada faidahnya. Lagi pula pendapat
mengenai wajibnya mengqadha` sebelum datangnya Ramadhan yang baru telah
disepakati oleh para fuqaha, kecuali apa yang diriwayatkan dari Imam Abu
Hanifah, rahimahullah."
Kesimpulan
Dari seluruh
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang menunda qadha` hingga masuk
Ramadhan, hanya berkewajiban qadha`, tidak wajib membayar fidyah. Adapun dalam
hal waktu mengqadha`, qadha` wajib dilaksanakan selambat-lambatnya pada bulan
Sya’ban dan berdosa jika seseorang menunda qadha` hingga masuk Ramadhan
berikutnya. Wallahu a’lam
Yogyakarta, 22 September 2007
Muhammad Shiddiq Al-Jawi